Puisi Sunardi KS
daun pintu selalu kawin dengan kunci
kunci yang lain kawin dengan laci
laci kecil memuat hal-hal besar
laci sempit memuat yang lapang
daun pintu selalu kawin dengan kunci
kunci yang lain kawin dengan laci
laci kecil memuat hal-hal besar
laci sempit memuat yang lapang
tansah mawantu-wantu piwelingku ndhuk
kudu waspada lan prayitna
aja gampang keguh marang pandhesege butuh
kang kala-kala ngambra-ngambra ngayawara
nggedhabyah ora nggenah
Ponorogo – Eksistensi STKIP PGRI Ponorogo sebagai pelopor kampus literasi Indonesia terus digaungkan. Kegiatan Ngaji Sastra sebagai serangkaian dari Sekolah Literasi Gratis (SLG) minggu ini kembali dihelat, kemarin (24/7). Setelah dua pekan lalu mendatangkan tiga penggurit kondang di Jawa Timur, minggu ini STKIP menghadirkan dua pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan dua wartawan Jawa Pos. Bekerja sama dengan […]
Nenek mulai sering duduk di dekat jendela. Memakai kacamata kuno yang ukuran lensanya mirip kerupuk bundar. Kedua matanya selalu menyipit dengan posisi kepala agak miring agar penglihatannya tepat terarah ke layar HP Nokia polyphonic yang dipegangnya.
Jalanan menjelma pita rekaman.
memutar lagi adegan-adegan
menyusuri cerita-cerita rumah papan
Dalam perkembangan kesusastraan Inggris kontemporer, nama Virginia Woolf menjadi salah satu nama yang paling dikenal. Kekhasan citra kepengarangannya yang lekat dengan tradisi Stream of consciousness, atau yang kita kenal dengan Arus Kesadaran, menjadikan posisi Woolf sama pentingnya dengan pengarang sezaman lainnya—James Joyce atau William Faulkner, sekadar menyebut dua contoh. Di samping itu, sebagai pengarang modern yang berkiprah di abad 20-an, ada kesadaran lain juga menjadi ciri khas dari Woolf: Ketimpangan gender yang mesti dienyahkan.
ketika rumah terjaga dari lelahnya. sesekali
ia membangunkan ibu. untuk sekadar
menemani buang air atau untuk meminta air.
Malam menggerayangi. Lelaki itu terjaga. Ia baru saja memeluk bulan dalam mimpi. Tubuhnya beranjak dari tempat tidur. Kakinya bergerak menyeret sandal jepit.
Dalam salah satu wawancara dengan DW Indonesia, sastrawan kawakan Indonesia Martin Aleida pernah berujar, “Saya cuma punya satu sikap, bahwa sastra itu harus berpihak kepada korban.” Sikap Martin itu termaktub dengan jelas dalam karya-karyanya yang banyak bercerita tentang nasib nahas yang menimpa korban tragedi 1965.
Hujan bahagia basahi tenda putih biru persegi itu. Semua orang bungah. Pagar ayu telah siap dengan gaun maron dan bunga tempel di kerudung, para tetangga sigap membantu ke sana-sini, dua hansip berkumis kelabu membenahi sabuknya siap berjaga.