Berita
SEJAK kena pehaka, saya sulit mendapat pekerjaan lagi. Pengalaman kerja sebagai office-boy tak banyak menolong untuk mendapat pekerjaan lagi. Padahal saya tidak melamar dengan posisi yang lebih tinggi. Menjadi staf administrasi, misalnya.
SEJAK kena pehaka, saya sulit mendapat pekerjaan lagi. Pengalaman kerja sebagai office-boy tak banyak menolong untuk mendapat pekerjaan lagi. Padahal saya tidak melamar dengan posisi yang lebih tinggi. Menjadi staf administrasi, misalnya.
SUDAH tiga hari Dukuh Kali Banteng diliputi kengerian. Bagai desa mati yang tidak berpenghuni, suasana tampak begitu sepi. Terlebih jika matahari sudah terbenam suasana desa terasa mencekam. Jika berjalan seorang diri seperti ada yang mengawasi, membuntuti, kadang-kadang menemani.
“Cepat taruh tanah yang menolak jadi periuk ini di ruang tamu pamanmu, biar dia paham pada perubahan yang sudah terjadi,” suruh nenek padaku.
“Tidak kawan. Itu guyonan. Lihatlah, ini hanya patung lilin.” Marto menenteng kepalanya sendiri di atas meja. Dilempar-lemparkannya ke atas gelondongan itu seperti bola kasti.
Rambutnya beda. Mungkin saja dismoothing sehingga keriwilnya tak lagi kentara. Kulitnya benar-benar mulus. Bisa saja karena tak lagi bersentuhan dengan kasar tali timba. Kini perawatan salon bisa melakukan segalanya. Termasuk membidadarikan siapa saja.
NAHI Mungkar duduk di sofa dengan gelisah. Ia terlihat seperti terpidana mati yang menunggu giliran eksekusi. Kakinya mendepak-depak lantai, jantungnya berdebar-debar tak karuan, dan pakaiannya basah oleh keringat. Padahal, cuaca saat itu sedang dingin-dinginnya. Seperti halnya setiap orang yang akan melakukan sesuatu untuk pertama kali, Nahi dibekap ragu atas apa yang hendak dilakukannya. Ia berkali-kali berpikir untuk pulang, membatalkan niatnya melepas keperjakaannya dengan seorang gadis yang tidak lagi gadis. Namun, ketika ia menoleh ke belakang, ia seperti melihat wajah mengejek teman-temannya yang tadi mengantarnya ke tempat ini.
Sadikun tak hanya lega, tapi juga haru. Ia telah menyelesaikan tugasnya sebagai guru. Tiga puluh lima tahun bukan waktu yang singkat untuk membagi ilmu. Baginya, yang diidamkan tidak sekadar rampung menjalankan tugas. Ia akan merasa puas jika selama mengemban amanah sebagai pegawai negeri sipil tak pernah tersandung kasus, termasuk korupsi. Apalagi sampai masuk bui.
DI Jalan Semar ada sebuah menara. Di puncak menara terdapat lampu berwarna merah. Dulu, kata orangtua saya, jika lampu itu berkedip-kedip, bunyi sirene akan menyusul. Meraung-raung dengan ganasnya. Pertanda sesuatu yang mengerikan akan terjadi.
Dasta menghentikan langkahnya, namun tidak lantas melihat ke arah Haki, “Mungkin kau pernah melakukan sesuatu hingga membuat orang lain menangis hebat. Sesuatu itu mungkin bisa dibilang sebuah kesalahan yang tak termaafkan, dan selama ini kau sengaja tak menyelesaikannya, bahkan mungkin sengaja menyembunyikan, dan hal itu berakibat jiwamu tak pernah bisa rehat. Dan satu-satunya agar jiwamu terselamatkan dan tenang, kau harus berani menyelesaikan masalahmu itu.” Usai mengatakan itu, Dasta berlalu.
”Baiklah, aku akan segera pergi dari sini. Aku hanya butuh pengakuanmu, lain tak!”