Buya
Enak saja, duitku kamu belikan rokok. Itu sama dengan kamu membakar uang. Merokok sama dengan membakar uang, Buyung.
Enak saja, duitku kamu belikan rokok. Itu sama dengan kamu membakar uang. Merokok sama dengan membakar uang, Buyung.
Iseng. Iseng belaka. Tak lebih dari itu. Aku tak menduga keisengan itu bakal tumbuh jadi perkara gawat, yang membuat rambutku rontok, nyaris tiap detik, hingga kepalaku botak, hanya menyisakan kulit, membuat sebagian besar orang memanggilku Mas Onde-onde. Panggilan yang membuat kegawatan itu kian memperparah botakku.
“Jika aku tak dapat menjadi seorang penegak keadilan di masa ini, maka aku akan menjadi penegak kejahatan! Penegak kejahatan paling bengis!”
Amat dingin udara terasa. Sambil membawa seikat bunga, kau berjalan menuju pekuburan kota; tempat dimakankan seorang pengarang dan penulis naskah drama. Saat berjalan ke sana, sambil tetap terpukau pada apa yang ditangkap mata dan telinga, kau teringat pada sebuah film yang kau saksikan ketika masih menjadi mahasiwa jurusan sastra;
Seorang pria mengalami mimpi buruk yang melibatkan seekor buaya berulang kali. Dan setiap kalinya, ia selalu terbangun dengan keringat dingin di kening.
Malaikat yang sekarat itu meraih tubuh kawannya yang terus terisak. Ia ingin membasuh lukanya, “dengarkan aku! Orang Mardika, riuh perang akan berhenti jikalau kalian semua berhenti menghamili kebencian,” bicaranya tersendat oleh ulu hatinya yang terus mengucur, “Kita bukan hanya membenci, tetapi jatuh cinta dan bersenggama dengan benci. Ia dengan bengisnya membunuh, dan kau berkata mayat itu begitu indah.”
Oh, indahnya masa kecil itu. Hingga ketidaktahuan pun nyatanya jauh lebih menyenangkan, dan mungkin itulah penyebab kenapa banyak sekali orang bodoh.
Suara menjadi pecah menjelang sore. Apalagi untuk katakan kata-kata cinta.
Tak sampai dua minggu, mereka ditemukan mati satu persatu di halaman rumah atau di jalanan. Satu-satunya anjing yang tersisa kini hanya Jojo, anjing milik Kang Bahar.
Awalnya ia berjalan; mungkin sebenarnya sudah berlari. Baiklah, sebut saja ia berlari. Meski tidak secepat mobil, tetapi tetap saja saat melihat ia berlari, kita sepakat ia terlihat cepat. Cuma kesan cepat itu lebih dipenuhi aroma ketakutan atau mungkin berbau keterburu-buruan.