Nurdin Sambo

NAMA saya Nurdin Sambo. Siapa pula yang tidak mengenal saya. Semua orang tahu bahwa saya ini tak lain dan tak bukan adalah patriot, pejuang dan pembela negeri dan tanah air ini. Buku-buku sejarah perlu mencatat itu. Mengapa tidak? Dulu, di zaman Pak Harto, ketika upacara akan dimulai pada Pk. 09.00, sejak Pk. 08.00 saya sudah berada di lapangan.

Setengah Badan

Aku harus melahirkan jabang yang ada di dalam perutku, jabang yang ada karena siasat ayahku sendiri, jabang yang aku bawa dari negeri TarTar hingga ke tanah Jawa ini. Dia kemudian lahir seorang laki-laki, aku bangga padanya, aku merasa dia adalah milikku seutuhnya secara pribadi. Tapi kemudian tetap saaja dia memiliki seorang ayah yang kuat, dan berperan penting di dalamnya

Kereta di Lembah Hening

Kata orang-orang di sini, kelak kita akan menaiki sebuah kereta. Dan di kereta itulah kita akan diperlihatkan seluruh petualangan yang akan kita jalani, untuk kemudian memudar, menemaram, dan ingatan-ingatan yang baru saja bermukim di kepala tetiba menghilang begitu sampai di perhentian.

Puisi Romzul Falah

“mereka membunuhku dengan pesakitan yang dibuat
sendiri. mengarang cerita-cerita horor, meletakkan takir,
meyakini aku sekutu pembalela sang gusti.
betapa nisbi iman itu. betapa cangkat dan sempit
lubang surga yang mereka namai asal mula”

Tarapek Japa

Tarapek Japa, teman kuliah sekaligus atasan saya di kantor, mati tak sampai seminggu setelah ia dengan pongahnya mengatai-ngatai saya sebagai ‘kawan yang tidak tahu terima kasih’, ‘kufur nikmat’, dan ‘sok bersih’. Bukan karena korona ataupun jenis virus mematikan lainnya. Maut menemuinya di toilet rumahnya, saat ia sedang berak, dan begitu sang istri datang, ia sudah kaku, setengah telanjang, dengan posisi kepala nyungsep ke dalam lubang kakus.