Simulakra dan Paradoks Manusia Urban

DARI peristiwa-peristiwa keseharian yang luput dari perhatian  manusia kebanyakan, puisi-puisi Hilmi Faiq ditulis. Ia memanfaatkan bahasa sehari-hari, sindiran, kritik, yang meminta ruang perenungan pembaca.  Saya menemukan dua hal yang menarik dalam buku Peristiwa-Peristiwa Nyaris Puitis (Gramedia Pustaka Utama, 2023) ini.

Puisi dan Sunyi

Kecemasan yang utuh dalam wilayah puisi adalah sunyi. Hal itu menjadi satu komposisi yang tidak akan luput, sekalipun memicu gemuruh dan menyelimuti seluruh tubuh puisi. Dalam puisi pula, ke(sunyi)an tak sebatas senyap, melainkan juga setakar ruang sublim untuk menjajaki segala persoalan dan kekalutan eksistensi yang jauh dari esensi.

Paradoks Kesakralan dan Radikalisme

BAGI penyair, religiusitas menjadi obsesi yang menyita perhatian. Begitu pula dengan kepenyairan Ahda Imran. Ia cukup banyak mengangkat suasana paradoks kesakralan dan radikalisme yang dilakukan orang-orang suci. Ia mengambil obsesi terhadap kehidupan mutakhir, kekuasaan yang dijalankan dengan penyimpangan-penyimpangan religiusitas dan fatwa. Ucapan, kata-kata, dan bahasa disampaikan seorang tokoh agama demi kepentingan ideologi dan kekuasaan. Ia mencipta puisi untuk menyampaikan hal-hal […]

Kemandirian dan Kritik

Ralph Waldo Emerson, sastrawan transendental (romantis) Amerika, menulis esai berjudul Self-Reliance di tahun 1841. Pikiran dalam Self-Reliance, atau kurang lebih berarti ‘kemandirian’ itu membuat kita seharusnya merenung. Setidaknya bila melihat perkembangan sastra modern Indonesia di tahun 1940-an hingga era pascamodern kini (abad 21).

Kereta Api dan Puisi

Para penggubah dan pembaca puisi berada di gerbong-gerbong kereta api. Mereka tak berada di situ setiap hari. Peristiwa sejenak untuk memenuhi hasrat dengan pilihan tempat mungkin selaras dengan kehadiran kereta api dalam perpuisian di Indonesia, dari masa ke masa.