Kesusastraan dan Lingkungan: Sebuah Refleksi

Dalam catatan editor World Literature Today edisi musim panas 2019, Daniel Simon menuliskan bahwa persoalan perubahan iklim telah berada di tengah-tengah panggung global. Kerusakan kolosal pada lingkungan, lanjutnya, telah menggerakkan para penulis untuk berakselerasi menciptakan dunia baru agar penyebab manusiawi dari kerusakan itu dapat ditekan.

Kritik Sastra: Pengantar Perbincangan Awal

Ada dua problema besar berkaitan dengan jagat kritik sastra kita. Pertama, dunia kritik sastra kita seperti “pelari maraton” yang tertinggal dibanding dengan lajunya penciptaan sastra, kedua, “kegamangan” kritik sastra sendiri antara ilmu dan “subjektivitas”. Berkaitan dengan problem pertama, jauh-jauh hari dalam bukunya Pokok dan Tokoh II, A. Teeuw telah mensinyalir betapa terbelakangnya kritik sastra di antara pertumbuhan karya sastra yang terus bermunculan. Ketertinggalan kritik sastra disebabkan dua alasan besar, yakni miskinnya tradisi baca dan kritik dalam budaya kita dan masih mudanya usia kritik sastra.

Narasi Konfrontasi Hegemoni Sori Siregar

KESAN saya tentang Sori Siregar persis sama seperti yang dirasakan Joni Ariadinata: lembut, suka humor, tak pernah menyakiti hati orang lain. Ia sangat ramah. Ia mencipta cerpen tak semata-mata fokus pada persoalan estetika, tetapi lebih pada persoalan manusia yang menjadi obsesi cerita: sosial, kultural, dan hegemoni kekuasaan.

Obituarium Paria

Di tangan Amanda Stronza, maut tampil dengan sentuhan estetis. Antropolog lingkungan dan fotografer Amrik tersebut kerap memberikan penghormatan pamungkas kepada jasad hewan-hewan yang ditemukannya dengan ornamen floral. Kita bisa menyaksikan ketakziman tak lazim itu di akun instagramnya yang selalu dihujani apresiasi warganet.

Empati Kultural Puisi Toeti Heraty

SAYA tulis esai singkat ini dari sudut pandang lain mengenai puisi-puisi Toeti Heraty yang dikenal sebagai tokoh feminis. Kancah perhatian esai ini pada puisi-puisinya yang berempati pada peristiwa kultural. Tentu saja menarik memperbincangkan puisi-puisi dengan empati kultural, karena ia memilki kekuatan sudut pandangnya sendiri sebagai penyair kontemporer.

Penyair Perempuan Indonesia

Narasi mengenai kepenyairan—baik taraf dunia maupun Indonesia—selama ini selalu didominasi kaum laki-laki. Kita bisa menelusuri, misalnya, melalui catatan penerima nobel sastra. Penghargaan paling bergengsi di bidang kesusastraan yang diinisiasi oleh Alfred Nobel melalui Swedish Academy itu didominasi penyair laki-laki. Atau jika dalam ranah keindonesiaan, tidak banyak penyair perempuan Indonesia yang masuk dalam angkatan-angkatan sastra.

Puisi dan Tantangan Kebermaknaan

“…Puisi memang tetap terasing. Tapi keterasingannya bukan karena ia berkhianat. Keterasingannya justru sebuah kesaksian, bagaimana di jaman ini, ketika kata bertebaran dan berduyun-duyun bersama kapital, orang mudah tak mengakui bahwa ada  fragmen-fragmen, ada peristiwa-peristiwa yang seakan-akan terdiam.” Kutipan tersebut merupakan pamungkas esai Goenawan Mohamad (selanjutnya: GM) bertajuk “Fragmen: Peristiwa” (GM, 2011:20).