Yoemi Noor dan Dua Gelombang dalam Sepotong Hati

Perjalanan sastra dan karya sastra tidak berhenti—mati setelah kepergian senior-seniornya. Di tahun 2000, 2010, 2020-an hingga ke kini perpuisian Indonesia, misalnya, semakin berkecambah. Anak-anak puisi menggelar layar keaksaraan berbahasa ekspresif yang manis. Puisi-puisi mereka tergolong puisi kamar. Tidak banyak anak-anak puisi seperti Sapardi Djoko Darmono, Sang Tetua Puisi romantis. Atau, Mustofa Bisri yang spiritualis. Chairil Anwar yang elegis, Taufik Ismail didatis, atau bahkan Joko Pinurba yang dramatis.

Kota di Kepala Khanafi

Akar Hening di Kota Kering adalah buku puisi pertama Khanafi. Oleh Khanafi, ia diusung dengan corak estetika yang membungkus spirit eksistensialisme(?) Dalam sastra Indonesia, jejak itu kuat telanjur lekat pada novel-novel garapan Iwan Simatupang. Kita tahu, dalam catatan sejarah disebut, corak ini muncul sebagai reaksi etis dan sikap politik pascarevolusi. Bila ditarik pada rentang lebih jauh, kita akan sampai pada nama-nama besar dari Prancis itu. Sekiranya tak keliru, Khanafi cukup sering menyebut nama-nama wingit dari Eropa itu dalam diskusi-diskusi kami di warung kopi.

Yang Membahasakan Penyakit

Siapa dari kita yang tak berpenyakit? Tiap-tiap manusia niscaya sempat menyandang penyakit, entah sudah lolos menjalaninya atau sedang berada dalam bayang-bayang penyakit tertentu. Kita memang tak bisa menebak penyakit apa yang bakal mendera jiwa raga. Penyakit mengintai setiap waktu. Seperti virus corona yang jadi pandemi global kali ini, umpamanya.

Potret Ketimpangan Sosial yang Memprihatinkan

Selalu menarik dan berkesan bila saya membaca buku-buku cerita pendek (cerpen) bertemakan kritik sosial atau berbagai ketimpangan sosial di tengah masyarakat kita. Selain dapat menjadi sebuah refleksi juga membantu mengasah kepekaan kita terhadap kondisi masyarakat di sekitar kita. Buku karya penulis yang lahir di Rantau, Tapin, Kalimantan Selatan ini misalnya. Sebagian kisahnya dapat dijadikan bahan renungan bersama.