Tradisi Ziarah dalam Puisi

TRADISI nyadran memberi warna sebagian kehidupsn masyarakat Indonesia. Tradisi ziarah menjadi bagian laku religiositas. Kekuatan imajinasi para penyair telah menangkap tradisi ziarah itu dan mencipta puisi yang menyampaikan pesan kompleksitas makna di dalamnya.

Sugesti Pemilu di Mata Penyair

PEMILU menjadi obsesi bagi beberapa  penyair untuk mencipta puisi. Dari beberapa puisi yang mengangkat persoalan pemilu, saya memilih empat yang populer di tengah masyarakat.  Empat puisi ini dicipta dengan intensitas dalam hal diksi, imaji, dan majas  untuk memberi makna pemilu dalam kancah demokrasi.

Paradoks Kesakralan dan Radikalisme

BAGI penyair, religiusitas menjadi obsesi yang menyita perhatian. Begitu pula dengan kepenyairan Ahda Imran. Ia cukup banyak mengangkat suasana paradoks kesakralan dan radikalisme yang dilakukan orang-orang suci. Ia mengambil obsesi terhadap kehidupan mutakhir, kekuasaan yang dijalankan dengan penyimpangan-penyimpangan religiusitas dan fatwa. Ucapan, kata-kata, dan bahasa disampaikan seorang tokoh agama demi kepentingan ideologi dan kekuasaan. Ia mencipta puisi untuk menyampaikan hal-hal […]

Absurditas Mistik dan Tragedi Kekuasaan

KERIS, mistik, dan tragedi kekuasaan menjadi obsesi penciptaan novel Panji Sukma. Dalam novel Kuda (Gramedia Pustaka Utama, 2022), ia mengisahkan kehidupan Empu Manyu, seorang pembuat keris, yang memperoleh popularitas, pengaruh, dan harta melimpah pada zaman Orba. Para pejabat rezim Orba sering memesan keris pada Empu Manyu sebagai hadiah kepada pejabat lain.

Identitas Sastra dan Hibrida Kultural

GENERASI baru sastra Indonesia mencipta teks sastra dengan kegelisahan yang menandai pencarian “identitas sastra” zamannya. Memang mereka masih berobsesi pada  mitos dalam penciptaan teks sastra. Kekuatan mitos itu pula tercermin dalam novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga (Kepustakaan Populer Gramedia, 2021), pemenenang ketiga Sayembara Novel DKJ 2019, yang kemudian terpilih sebagai novel terbaik Kusala Sastra 2021. Novel ini kuyup dengan mitos, menyingkap pergolakan batin melawan hegemoni kekuasaan kolonial dan bangsa sendiri.

Transendensi Narasi Lebaran

TIGA cerpen Triyanto Triwikromo, “Seperti Gerimis Meruncing Merah”, “Sayap Kabut Sultan Ngamid” dan “Malaikat Tanah Asal” menjadi sangat menarik di antara cerpen Celeng Satu Celeng Semua (Gramedia Pustaka Utama, 2013). Tiga cerpen itu berlatar Lebaran, dan menyingkap tabir transendensi dalam narasi fiksi. Hampir semua cerpen dalam buku ini menyingkap transendensi dengan kekuatan filosofi, imaji, dan struktur narasi.

Paradoks Mitos dan Spiritualitas

DARI buku antologi  Tjahjono Widijanto, Penakwil Sunyi di Jalan-Jalan Api (Pagan Press, 2018), saya menemukan puisi-puisi paradoks antara mitos dan  spiritualitas.  Latar kultur penyair yang memiliki keterlibatan pada berbagai mitos telah membuka mata air penciptaan yang bermuatan spiritualitas. Tentu saja, ia menyusupkan imaji, membangun kontemplasi, dan melakukan ekplorasi diksi untuk mencipta puisi-puisi liris tentang paradoks mitos dan spiritualitas itu.

Mitos dan Pembebasan Spiritualitas

DAYA TARIK mitos masih menjadi obsesi penyair. Mitos menjadi pijakan daya cipta, yang mengalirkan puisi hadir ke hadapan pembaca mutakhir. Dalam kumpulan puisi Jumantara (Pustaka Ekspresi, 2021), Wayan Jengki Sunarta sengaja menyingkap mitos-mitos yang menyelubungi atmosfer religiusitasnya sehari-hari ke dalam puisi-puisi panjang yang menghadirkan tokoh, latar, dan alur. Ia menyebutnya puisi prosa. Spiritualitas menjadi penjelajahan ekspresi daya cipta penyair, menyentuh dunia transendensi.