Guliga Landak
“Sudah! Sudah, Bang!” seru perampok yang satunya. Keluar dari kamar Hariani dengan membawa sebuah benda yang terbungkus kain merah dan segepok uang lima puluh ribuan.
“Sudah! Sudah, Bang!” seru perampok yang satunya. Keluar dari kamar Hariani dengan membawa sebuah benda yang terbungkus kain merah dan segepok uang lima puluh ribuan.
TBC dan diabetes bertamu ke tubuh Emak
di sisa daging yang ada
beruntung—Emak masih bisa
menautkan benang linen dan rayon ke mata jarum doa
hingga koyak kebaya hidupnya terjahit
; apik dalam banjar garis marigold berbentuk bunga
MAWAR itu teronggok di atas meja, dan itu pula yang pertama kali dilihatnya tatkala kelopak matanya terbuka. Pagi yang sebenarnya sudah agak terlambat. Madam Anna terkejut. Belum sepenuhnya sadar, ia mencoba mengingat, apakah semalam seorang tamu datang dengan sebuket bunga?
Seseorang di luar puisi ini masuk ke dalam aku
Metafora yang tumpang-tindih bersusun
Seseorang di luar puisi masuk ke dalam aku
Menggurat isyarat pada sekujur badan
Friedrich Yah berjalan menembus kerasnya badai. Ia membiarkan tubuhnya yang gendut itu diterpa angin berair, juga membiarkan orang-orang yang bersembunyi di balik jendela rumah mereka memaki-makinya sebagai iblis.
Ini bukan replika: tiang-tiang yang entah untuk apa
berdiri miring, bangunan yang juga tak jelas wujud
—tampak mangkrak
“Enak ya tinggal di rumah besar. Tapi sayang, kok gordennya tidak terpasang? Percuma dong jadi orang kaya, beli gorden saja tidak mampu,”
Air mata, sebenarnya adalah kabar baik yang dikepak-kepak sayap Jibril
ketika hendak berusaha menyuburkan ladang hatimu,
meski kehilangan selalu tak memberi pilihan
untuk mengucap ‘tidak’ pada siapapun.
Satenane ora ana carita.
Ora ana apa-apa.
Suwung blung
Jakarta; gedung-gedung terbang. Kayu yang besi menopang tubuh lelaki
meja-meja bundar adalah manuver kerinduan; tentang dongeng si kancil
atau anak merapi sebelum meletusnya berita. Jakarta; menarik doa-doa