Puisi Irman Hermawan
pertemuan itu menyudutkan waktu, dan menjadikannya perahu.
meleburi air mata jadi lautan paling dalam.
pertemuan itu menyudutkan waktu, dan menjadikannya perahu.
meleburi air mata jadi lautan paling dalam.
“Mbir… kuwi bapake arep metu, diabani!” prentahe wong lemu sing lungguhan ing dhingklik ngarep lawang parkiran. Wong lemu kuwi ngliga dhadha.
Wayah esuk. Metu kandhang. Wayah sore. Mulih kandhang. Kuthuke loro. Cilik-cilik. Piyek-piyek swarane. Saben weruh babon ireng lan kuthuke aku mesti mesam-mesem.
Usia-usia ini, berdiri.
Jadi mawar, violet di segala musim.
Di kening, sebuah peta
Oh, indahnya masa kecil itu. Hingga ketidaktahuan pun nyatanya jauh lebih menyenangkan, dan mungkin itulah penyebab kenapa banyak sekali orang bodoh.
Suara menjadi pecah menjelang sore. Apalagi untuk katakan kata-kata cinta.
Tak sampai dua minggu, mereka ditemukan mati satu persatu di halaman rumah atau di jalanan. Satu-satunya anjing yang tersisa kini hanya Jojo, anjing milik Kang Bahar.
1. Sebuah garis berangkat menuju yang bukan pulang Dan yang terputus-putus dari kemarin atau sedikit shoegaze ringan setelah Frankenstein dan menangis untuk ingatan tentang buah di tengah meja Kau diam dan telanjangUntuk lurus dan bayangan-bayangan yang terlipat, yang penggaris dan lonceng pagar 2. Besok dan sesekali menjadi biru Pembatas —mana yang bukan jalan menuju percakapan atau sesekali meraba ubun tuhan. […]
Bau hutan menguar. Matahari masih tertutup kabut. Langkah
mendaki menelusuri jalan setapak. Embun. Debar dada
Dedaunan kuning berguguran. Kenyataan. Menakik getah
Serupa menjerit ia toreh kulit pohon pinus. Bertahun-tahun
: “Aku serahkan segalanya, usia dan doa-doa, penyair!”
Sejak Juli 1995, hujan masih terus pecah ke Srebrenica dan Sarajevo.
Sebuah tugu peringatan, dan aroma luka tanah Potocari
telah sama-sama meneruskan kesedihan