Puisi Riza Ahmad
7 kuda putih
derasnya napas
dari tubuh yang gelap
endapan penantian
lepas meninggalkan ngarainya
dia datang bersama bisikan
menghentak segalanya
pun semua terlepas
terempas dan sirna
dari kejauhan
terlihat 7 kuda putih
dan sorot mata yang teduh
bersama tuannya berjubah
pelan menghampiri jendela
ini akhir yang tertulis
ia datang untuk melihat
ketika semua bani berjalan berbondong
menuju lorong nan sempit.
segala gelap
demi cahaya meluncur
sayap-sayap keluar dari tubuhnya
mendekap pundakku erat
menjaga dari api dan timah
yang melesat cepat dan mengarah
ia membawaku terbang
meninggalkan pasir-pasir
di antara biru pucat
selayang pandang tertuju
pada
lanskap tebing yang curam
menghunjam tanah dan rahang bumi
munusuk segala yang gelap.
kuda dan takdir
ketika api dan air
gunung dan takdir
di antara pasukan yang berbaris
kencang memincangkan kaki
bergerak bersama ketakutan
wahai kuda perang berlari kencang
tanpa arah ke mana bagai laju nyawa
di pundaknya lelaki terkulai menangis
menahan tebasan pedang paling dalam
ia memohon pada langit
sebagai akhir segala
dengan tanda gugurnya daun
dan air yang tak mengalir pada lautan
serta kehampaan yang kekal tak lagi
mengusai pikiran.
wahai kuda yang memaksa kaki-kakinya berhenti
pada percikan api di antara dua kuku
serta napasnya terlepas seiring seruan.
dua batu
di balik bilik api berkobar
disusul jeritan tangis
dari mereka yang kehilangan semua
dan tinggallah anak itu sebatang kara
hujan mengguyur
darah mengalir
larut di antara dua batu besar.
sais
gigi roda kayu
mengiring ketakutan yang menghantuimu
dalam waktu sempit
ruang menjadi sangkar
dan cucuran keringat
membuyarkan tebakan-tebakan tujuan
sais hanya tahu mengantar
menghindari lubang-rintangan
dan jalan itu tak mengarah pulang
pada langkah yang membaca tanda
bersama embus angin
ia menangkap ketakutan
di antara terang dan gelap.
lamunan menabrak
dan waktu tak serupa jerat
yang membatasi ketakutan.
dari kerumunan
bakal ada yang hilang di antara kerumunan
siasat dan khianat mencaplok
bahkan dari mereka yang asing
tanah yang dijanjikan tetap lapang
sempit di antara pikiran
dan pekikan meracau bagai desingan
Penulis:
Riza Ahmad, menjaga toko buku Rusamenjana. Sekarang aktif hadir di gigs-gigs.