Puisi
Puisi Eddy Pranata PNP

Puisi Eddy Pranata PNP

Sial, Katak di Bawah Tempurung

Sial, setelah menerabas deras hujan, di pinggir
Selatan kota langkahku tersandung sejumlah tempurung
Yang tengkurap, di luar dugaan setiap ujung sepatuku
Menendang tempurung tengkurap itu— melompat katak
Dengan berbagai lagak dan gaya: ada yang kakinya pendek
Ada mata merah, ada lidah menjulur, ada perut buncit
Ada kulit sangat brudus, katak-katak itu melompat girang
Seraya membusung-busungkan dada, katak-katak itu tidak tahu
Bisa melihat dunia luar karena ujung sepatuku

“Ternyata selama ini, kita hidup di ruang sangat sempit
Sangat kecil,” celetuk seekor katak buncit perut

Katak lainnya terkejut, saling tatap, mulutnya bergerak-gerak

: “Ini kita sedang berada di mana sesungguhnya? Ternyata dunia
Begitu luas. Sungguh kecil tubuh ini. Kerdil otak ini,” ujar katak
Brudus sekali. Lalu segera katak pendek kaki menyahut,
“Makanya apa guna selama ini kita besar kepala, merasa hebat,
Merasa paling berkuasa.”

Seekor katak mata merah melompat jatuh ke genangan air
Sisa hujan, lalu katanya, “Konser kita selama ini berarti cuma
Kelas ecek-ecek, ya? Teater dan musikalisasi puisi cuma kelas
Kambing, ya? Duilah, pret!”

Ujung sepatuku terus menendang tempurung tengkurap
Katak-katak terus berlompatan dari bawah tempurung
Entah mengapa hatiku begitu lega.

Jaspinka, 2020

Lelaki Berwajah Puisi dan Gada Rujak Polo

Di sudut Barat kota, di bangunan tua yang sebagian runtuh
Di dinding sebagian berlumut, masih bisa terlihat bekas
Lukisan mural, graffiti dan coretan tanpa makna, lalu
Gerimis turun, angin menggoyang rumput yang tumbuh
Di sebagian dinding dan atap bangunan tak terurus itu

“Waktu bagai membeku, kenangan getir menguar!”

Gerimis kian lebat, seorang lelaki berjalan basah ke Timur
Di alun-alun kata-kata bagai kabut mengurung  batu kesunyian

: “Kota bisa membuat kita tidak bahagia, kata-kata retak duka!”
Dari alun-alun lelaki paruh baya berwajah puisi berbalik jalan
Ke Barat, gerimis telah reda, matahari senja tepat jatuh di
Arena bundaran underpass Jendral Sudirman, Gada Rujak Polo
Bermandikan cahaya matahari senja, penuh pesona, dan kudi
Yang melingkar tugu menjadi penjaga paling setia

: “Inyong wong ngapak ingin selalu bertindak menggunakan polo,
Pakai otak!”

Lelaki itu berdiri tegak persis di bawah tugu Gada Rujak Polo
Matanya menyala, kedua tangannya direntangkan ke atas

: “Aku bangga punya kota Satria, kotanya Inyong!” teriaknya

Orang-orang yang melewati bundaran itu takjub dan terkesima
Lelaki berwajah puisi yang berdiri tegak di bawah tugu
Gada Rujak Polo itu tiba-tiba merasakan alir darahnya panas
Jantungnya berdebar kencang, tubuhnya meninggi membesar
Kumisnya lebat panjang, begitu pula kedua kuku ibu jarinya
Memanjang-mengeras: Ia menjelma Werkudara! Ia cabut
Gada Rujak Polo, matanya merah, langkahnya berat lebar
Terus mendengus, menuju Hastinapura, ia ingin menghancurkan
Sosok-sosok pengecut, pengadu-domba, penjilat-licik, suka

Adigang-adigung-adiguna maka diayunkanlah Gada Rujak Polo
pada tubuh Sengkuni, Drona, Kartamarma, Dursasana dan siapa
saja sosok bermusuh dengan Amarta, hingga akhirnya bertumpah-
darah dengan sang raja Hastinapura; Duryudana!
Duryudana pun remuk hancur diamuk Gada Rujak Polo
Werkudara itu pun kembali menjelma lelaki berwajah puisi
Langit Purwokerto terang-benderang, lelaki itu bersiul kccil
Menyusuri trotoar kota

: “Inilah kota Inyong, kota yang tenteram, adem-ayem,
nrimo ing pandum, rarasing rasa wiwaraning praja!”

Jaspinka, 2020

Kisah Tragis Kambing Jaka Kenclu

Dan ia, Jaka Kenclu senantiasa berdebar jantungnya
Setiap ia tebas satu pohon srindia, ranting mahoni
Kepalanya menoleh ke kanan-kiri
Begitu seterusnya hingga satu pikul rambanan
Igir Baritan sudah mulai gelap, azan Magrib telah
Beberapa saat berkumandang dari corong masjid
Dan musala di kampung kecilnya Jaka Kenclu

Setelah merasa aman Jaka Kenclu menuruni
Igir Baritan langsung ke kandang kambing
Di samping rumahnya, rambanan curian itu
Diberikan ke delapan kambingnya, duh
Kanjeng Gusti, begitu hari-hari Jaka Kenclu
Menjarah tanaman orang lain tanpa rasa bersalah

Orang-orang di kampung itu sebenarnya sudah lama
curiga perangai buruk Jaka Kenclu, tapi belum ada
yang bisa menangkap basah

Kang Kaslum adalah orang yang paling kesal
dan sakit hati mendapati tanaman srindia dan mahoni
dijarah orang, Kang Kaslum sudah sering mengintai
Tetapi selalu gagal dan pulang dengan hati kosong
Tetapi entah ilham dari mana, sore gerimis
Berlangit jingga itu Kang Kaslum menempelkan butiran
Racun dengan isolasi bening pada daun
Srindia dan mahoni, Kang Kaslum ingin sekali tahu
Siapakah gerangan yang menjarah tanamannya, duh
Kanjeng Gusti, kenapa hal ini harus terjadi?

Keesokan harinya, masih pagi sekali, kampung kecil
yang selama ini tenteram, damai, adem-ayem
digegerkan dengan wuru-nya delapan ekor kambing
Piaraannya Jaka Kenclu, edan, delapan ekor kambing!

Wajah Jaka Kenclu tegang mendapati kambingnya wuru
Ia dan sejumlah tetangga memberikan penawar atau
berbagai ramuan agar kambing-kambing itu bisa selamat,
bisa tetap hidup dan setelah berjam-jam kemudian
Alhamdulillah—kambing itu selamat
Semuanya bergulir apa adanya,  dan tidak seorang pun
Mempersoalkan wuru-nya kambing Jaka Kenclu
Begitu pula dengan Kang Kaslum, ia hanya bersiul kecil

Ketika mengetahui peristiwa tragis itu, sejak itulah
Apa saja tanaman Kang Kaslum di Igir Baritan aman
Tak ada gangguan apa pun!

Jaspinka, 2020

Kupu-kupu yang Mengisap Sari Edelweis

“Menjadi kupu-kupu yang berhati karang adalah impian panjang
yang tidak mudah untuk diwujudkan,” desis kepompong
yang meringkuk sunyi di ranting pohon yang mulai
meranggas di atas ketinggian bukit di tengah hutan belantara
selebihnya hanya angin yang menderu
dan menggugurkan dedaunan
yang mengering di ranting-ranting sunyi
dan sudah sangat lama aku menunggumu menjelma
seekor kupu-kupu yang terbang dengan sayap pelangi
mengitari taman bunga

di sekitar gubuk kecil di tengah hutan belantara
tetapi engkau masih saja kepompong
yang berkasih sunyi
merenda angan
“Setelah aku menjelma kupu-kupu
aku tidak akan mengisap sari bunga di taman

aku mau mengisap edelweis karang
agar hidupku kuat dan tabah
punya hati dan jiwa yang tegar
setia dan takluk pada keagungan Tuhan!”
Dan kepompong itu, lihatlah
perlahan bergerak-gerak retas
kupu-kupu akhirnya lahir
bersayap pelangi berhati-jiwa puisi
Aku mengikuti terbangnya kupu-kupu itu
dari bukit turun ke lembah ke laut
di sela-sela batu karang kupu-kupu itu
o, mengisap sari edelweis
Alangkah menakjubkan.

Jaspinka, 2020


Penulis

Eddy Pranata PNP
Ketua Jaspinka (Jaringan Satra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia. Puisinya “Bertandang ke Karang Anjog dan Dukuh Paruk” meraih juara 3 Lomba Cipta Pusi FB Hari Puisi Indonesia 2020. Meraih anugerah Puisi Umum Terbaik Lomba Cipta Puisi tahun 2019 yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi Indonesia. Juara 1 Lomba Cipta Puisi Sabana Pustaka tahun 2016, Nomine Penghargaan Sastra Litera tahun 2017 , 2018, 2019.  Nomine Krakatau Award 2017 dan 2019. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya(2019). Puisinya tersiar di media cetak dan online, juga beberapa buku antologi puisi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *