
Puisi Romzul Falah
Sore Langit Kamis
Sebagaimana penyair cinta, aku ingin mengagungkan
zatmu ke dalam ibadahku di tengah luka berkuasa.
Merawat kesedihan yang jauh-jauh tahun kutemukan,
saat tak sengaja kucium aroma takdir pada sebuah syair
“Rusuk & punggungmu adalah sebatang kesepian
yang hilang dari bulan, ketika doa-doa berperang
memperjuangkan nasib tuannya yang diadili hidup,
persis ketika kau dengar jeritan kelaparan di selatan”
Bertahun-tahun pula sejak itu, dadaku mengeluarkan
lumpur darah tiap kali mata mengalami kekeringan
di musim yang seharusnya tanah ini basah & subur,
aku semakin curiga, Kekasih, inilah putaran tasbih
Wujudmu wiridan rindu, jantungku berdetak-detak
sebagaimana pernah kau ajarkan padaku cara berzikir,
melalui para penyair. Padamu, hatiku hanya mengenal
cinta maha romantis sebagaimana sore langit kamis
2020
Kabar Untuk Satrya
Kembali, jantungku kritis sedang kabut tak kunjung menipis.
Trawas terlalu dingin, Satrya, untuk tubuhku yang ditinggal
cara elokmu menanak suhu sejak ratusan pekan yang lalu
Dari jauh, kusaksikan Gunung Arjuna sebagai jalan terakhir
melupakan tragedi-tragedi: di tubuh kurusku, di jalan raya,
di warung makan, di kota yang belum pernah kubayangkan
dinginnya saat kau paling muskil untuk tidak berbagi gigil
Sengaja aku tulis puisi ini, saat mata masih kehilangan tenaga,
sebagai kabar yang akan kau baca ketika yang gemetar adalah
suara kelaparan & penggundulan hutan, atau saat diamku
menjadi metafora dari suatu hari ketika keagunganmu pergi
Setelah puisi ini engkau terima dalam keadaan dingin, sedingin
pagi ini yang membuat kampung-kampung kecil di dadaku
mati warna, jadilah kau sebagai penegak keadilan bagi cinta
2020
Dari Kedai Giras Trawas
Masa-masa sepiku keluar masuk kedai kopi
mengadili kesedihan di bibir-bibir cangkir
“Cara mencintai kopi harus dengan sakit hati,”
ucap Barista berkulit putih. Ketika nomor meja
& matanya menggenapkan luka benua raya
Kemiskinan belum tuntas, ditambah dadaku
yang serba kekurangan sejak cinta & rindu
memutuskan pisah, sejak doa pindah rumah
Di meja-meja yang rentan asma, ampas kopi
mewartakan bahwa kesedihanku akan segara
dilambungkan ke langit: pertengkaran sengit
“Kelak suatu pagi, kesedihanku akan berenang
ke dalam kopi, lalu hilang bersamaan dengan
senyuman: milikmu,” tulisku dalam puisi
Mojokerto, 2020
Gara-Gara Mencintaimu
Gara-gara mencintaimu:
hutan-hutan gundul & aku tak lagi
mampu menampung kesedihan ini
yang siang & malam sama sakitnya.
Gunung-gunung bersengketa atas
ketinggian. Gempa luka di mana-mana.
Gara-gara mencintaimu:
reptil & mamalia terancam kehilangan
rumah, terancam punah dari hadapan
cinta yang gemar berjelajah. Sungai-sungai
dipenuhi ampas kasih yang membusuk,
lalu menyumbat tempat doa-doa lewat
Gara-gara mencintaimu:
hampir aku mati diadili kemiskinan,
ditindih beban hidup yang terbuang dari
selatan: tempat dunia bereinkarnasi.
& gara-gara mencintaimu, sepanjang
waktu penderitaan bermain di hatiku.
2020
Gadis Manis & Seekor Kucing
—Satrya Nur Ayu Wahyuni WR
Di antara pintu & waktu
kulihat kau & seekor kucing
menimang harapan-harapan
Ke dadamu aku bertamu
cahaya menyala di kedua lenganmu
kesepian mengajarkan bahwa yang bertalu
tak hanya masa lalu
Seperti langit, yang tak terhitung
tak selalu muskil disanjung
&, seperti tanah, yang dekat
tak selalu mampu mendekap
Seekor kucing bergelayut
memetik kedamaian
kegaduhan hilang di ingatan
Kulihat kau
ketika dada sedang tak baik
ketika pandang kehilangan tujuan
katamu, yang kugendong adalah
penangkal wabah kesedihan
2020
Penulis:
Romzul Falah, lahir di Sumenep, 03 Juni 2000. Alumni pondok pesantren Aqidah Usymuni, Terate, Sumenep. Sekarang menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Wiraraja, Madura. Puisi-puisinya terbit di beberapa media dan dalam antologi puisi bersama. Kini bergiat di Pabengkon Sastra dan Kelas Puisi Bekasi (KPB). Persahabatan: Instagram @romzulfalah, Email: [email protected]