Resensi Buku
Kota di Kepala Khanafi

Kota di Kepala Khanafi

Judul       : Akar Hening di Kota Kering
Genre      : Puisi
Penulis    : Khanafi
Cetakan  : I, 2021
Tebal       : v + 114
ISBN       : 978-623-337-354-8
Penerbit : SIP Publishing

Akar Hening di Kota Kering adalah buku puisi pertama Khanafi. Oleh Khanafi, ia diusung dengan corak estetika yang membungkus spirit eksistensialisme(?) Dalam sastra Indonesia, jejak itu kuat telanjur lekat pada novel-novel garapan Iwan Simatupang. Kita tahu, dalam catatan sejarah disebut, corak ini muncul sebagai reaksi etis dan sikap politik pascarevolusi. Bila ditarik pada rentang lebih jauh, kita akan sampai pada nama-nama besar dari Prancis itu. Sekiranya tak keliru, Khanafi cukup sering menyebut nama-nama wingit dari Eropa itu dalam diskusi-diskusi kami di warung kopi.

Puisi Khanafi adalah artikulator yang menggungat kekalahan, bahkan kematian, subjek. Subjek dihadirkannya sebagai sosok hantu bergentayangan yang berpretensi membuat teror di tengah ingar-bingar kota. Khanafi menjadikan kota sebagai kuburan, realitas objektif, yang bertanggung jawab atas kematian subjek. Dan, itulah yang membuatnya selalu berjarak dengan kota. Ia tak pernah menjadi bagiannya meskipun berada di dalamnya.

Secara konsisten, kota dalam Akar Hening di Kota Kering dimunculkan dalam pengimajian yang frustatif, suram, dan murung. Ia menjadikan kota sebagai faktor antagonistik dalam biografi aku-lirik, menjadikannya musuh sebagaimana sebuah wabah. Alih-alih lari menjauh, ia menantang berhadap-hadapan. Tapi, ya, kita tahu, yang ia lakukan hanya perlawanan simbolik, dengan kata-kata. Maka, puisi Khanafi kemudian demikian berwatak nihilis, tidak ada yang final dalam puisinya. Bagi saya, itu adalah kekuatannya dalam berpuisi.

Khanafi sadar, ia perlu bersetrategi untuk menunjang gagasannya. Setrategi puitiknya adalah tidak memberi porsi khusus untuk memunculkan dimensi keruangan dan kewaktuan dalam desain tiap puisinya. Ia memanfaatkan kata sifat dalam derajat yang relatif kuat, kata kerja mental, atau kata benda abstrak. Dengan  begitu, dia relatif tak membutuhkan terlalu banyak variasi kata dalam 60-an puisinya.

Satu hal yang penting untuk menjadi pusat perhatian adalah metafora berlapis-lapis, tapi bukan sebagai alegori, yang akan memaksa pembaca meluangkan waktu lebih lama sebelum memutuskan untuk beranjak ke larik atau bait berikutnya alih-alih menangkap proyeksi imaji visual sekaligus permainan musik yang agak ditonjonlkan Khanafi. Puisi “Mempelajari Lanskap Kota” memberikan kesan demikian kuat. sejak dunia diasingkan ke kotakota/ jalanan dan kakikaki mempelajari lanskap//  pekerjaan dan keterasingan/  adalah campuran sarapan pagi,/  harihari murka, dan dendam/  seakan terpahat di dindingdinding/ bayangan menyelinap menjadi/ gedunggedung/  ia pernah hancur oleh seratus musim// dan cuaca yang mewarnai kemerahan nasib/ menghitung lapar, dan kami hanya/  punya telinga yang mendengar/  setiap detik keruntuhan langit begitu nyaring//.

Kita menengok realitas dunia yang mengelilingi teks. Definisi kota, sebagai ruang spasial, mungkin telah demikiaan kabur. Akan begitu naif jika menghadap-hadapkannya dengan, misalnya, desa. Tentu saja, batas-batas itu dikaburkan oleh watak global yang membuat jarak menjadi hilang, informasi yang demikian mudah dan cepat berubah dan berpindah hingga kaburnya identitas primordial dan ketiadaan yang ajek. Dengan begitu, saya kemudian bertanya, apakah itu luput dari amatan Khanafi? Di manakah Khanafi hidup? Seorang puritankah yang mengambil jarak dari materialisme Khanafi?

Saya akan berusaha menjawab sendiri pertanyaan itu. Kota dalam Akar Hening di Kota Kering bukalah kota yang memiliki definisi yang faktual sebagai mana kota yang dipahami dalam konteks sosiologis, misalnya. Dia dibingkai gagasan artistik yang autektik yang tak sepenuhnya bisa pembaca, seperti saya, gugat. Kota semacam pengucapan (sinis) khas penyair untuk menandai dirinya dalam posisi berseberangan, semacam Ahmad Tohari yang mengakrabi “wong cilik”.

Objek yang digugat oleh Khanafi dalam Akar Hening di Kota Kering sesungguhnya memiliki kesamaam dengan apa yang disuarakan oleh, misalnya, Arif Hidayat dalam Air Mata Manggar.  Yang membedakan antara keduanya adalah Arif Hidayat menawarkan sebuah jalan keluar, mengelaborasi wacana, dengan strategi estetik yang  mengambil sudut pandang ke-Timuran, yang hulunya adalah untuk merebut makna. Sesuatu yang tidak dipilih Khanafi, alih-alih membiarkan puisinya demikian “liar”.

Mengakhiri tulisan ini, izinkan saya menyitir puisi favorit dalam Akar Hening di Kota Kering. “Banyangan” saya anggap contoh berhasil sebuah puisi dalam menyampaikan gagasan dengan pilihan retorika yang kuat dan meyakinkan, sungguh anggun. berkelebat di hatimu bayangan dunia/ seperti derit pintu ketika ditutup/ melangkah jauh menuju kota/ meninggalkan matamata yang nanar// bendabenda dalam dirimu mungkin/ meringkusmu/  ke tepi kekosongan waktu/ kau berjalan semata dalam kegelapan/ mencari cahaya, menunggu bintangbintang/ jatuh/ dari balik kaca// kaubaca langit yang pedih/ hujan turun di temboktembok sedih/ mengungsikan gedunggedung yang mati// di lubuk hatimu//. []


Penulis:

Mufti Wibowo, berdomiisili di Purbalingga. Penulis buku Catatan Pengantar Tidur (2021). (WA 081227802010. Surel: [email protected]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *