Cerpen
Sebuket Mawar di Kamar Madam Anna

Sebuket Mawar di Kamar Madam Anna

MAWAR itu teronggok di atas meja, dan itu pula yang pertama kali dilihatnya tatkala kelopak matanya terbuka. Pagi yang sebenarnya sudah agak terlambat. Madam Anna terkejut. Belum sepenuhnya sadar, ia mencoba mengingat, apakah semalam seorang tamu datang dengan sebuket bunga?

“Tidak,” gumamnya. “Tak seorang pun datang, apalagi memberiku bunga!”

Selama hampir tujuh puluh tahun hidupnya yang sunyi itu, sekali saja ia menerima sekuntum bunga dari seorang lelaki yang kerap kali menjahilinya. Saat itu usianya masih duabelas tahun, dan bocah lelaki itu adalah teman sekelasnya yang tidak saja paling usil tapi juga bodoh.

Ia pikir, saking tolol temannya itu, sehingga memberi bunga di akhir bulan Mei dengan mengucapkan selamat hari valentine yang membuat Anna tak kuasa menahan tawa, alih-alih terkesan karenanya; sama sekali tak terpikir oleh Anna bunga itu sebuah tanda cinta. Namun ia tetap menerima bunga itu tanpa berucap terima kasih, dan begitu bocah berlalu dengan wajah sumringah, bunga berakhir di keranjang sampah.

Ketika ia duduk di bangku SMA, sesekali teringat peristiwa tersebut dan menyebutnya sebagai peristiwa paling konyol dalam hidupnya. Kadang ia berpikir kalau waktu itu Tuhan telah alpa dalam membuat takdir untuknya. Ia sempat memuji Tuhan yang maha adil lantaran saat itu tak seorang pun tahu. Ia pun memendam sendiri peristiwa tersebut dan menjaga untuk tidak menceritakannya kepada siapa pun yang dikenalnya. Tetapi di luar sangkanya, si bocah tolol ternyata bercerita kepada semua teman sekelasnya, kalau Anna telah jadi kekasihnya. Sebenarnya tak seorang pun memercayai omongan itu, tetapi pada saat yang sama sebenarnya hampir semua kawan satu sekolah tak begitu menyukai Anna yang tak saja angkuh dan dingin, tetapi juga suka mencemooh siapa pun yang menurutnya pantas untuk dicemooh. Kabar itu segera menyebar dan semua siswa mengetahuinya. Benar-benar membuat Anna merasa tak punya muka dan mulai saat itu, ia membenci bunga mawar. Nasib buruknya tertolong oleh kelulusan karena peristiwa tersebut terjadi beberapa hari setelah ujian sekolah selesai. Ia tetap berterima kasih pada Tuhan.

Sudah berpuluh tahun ia telah melupakan peristiwa itu, tetapi sebuket mawar misterius tersebut telah mengingatkannya pada peristiwa paling memalukan dalam hidupnya itu. Madam Anna bangkit dan duduk sejenak di tepi ambin, seolah hendak mengumpulkan segenap kekuatan untuk berdiri. Akhir-akhir ini kepalanya suka merasa pusing setiap kali bangkit dari tidur atau berbaring.

Ketika ia menyibak tirai jendela, segumpal debu mengembang; sebagian terhirup olehnya dan membuatnya tersengal. Ia sendiri sudah lupa, kapan terakhir kali membuka tirai jendela kamarnya itu. Ia sempat melihat untuk kedua kalinya sebuket bunga itu di atas meja, seperti sedang memastikan bahwa penglihatannya saat pertama kali membuka mata tadi bukanlah sebuah ilusi. Dan bunga itu memang masih teronggok di sana. Tapi alih-alih mengambilnya, Madam Anna menyeret langkah ke luar kamar, sembari mengumpat, “Setan lancang mana yang berani masuk ke dalam rumahku?”

Sejurus kemudian, rasa takut tiba-tiba menyeruak ke dalam hatinya. Bayangan akan orang-orang yang suka berbuat kejam, suka rampok dan bunuh orang, memenuhi benaknya. Dan didorong oleh keadaan yang kacau itu, ia bergegas menuju ke pintu. Ia memeriksa apakah keadaan baik-baik saja atau sebaliknya. Tidak begitu baik, lantaran ia lupa tidak menarik slot usai menutup pintu semalam. Tapi, sebenarnya ia ragu akan hal itu. Mungkin aku sudah menariknya. Ataukah belum? Ah, jahanam! Sekarang pikirannya bertambah gamang, dan itu pula yang membuat rasa takutnya kian menjadi. Apakah aku sudah mulai pikun?

“Bukan rampok!” ucapnya lirih, lebih untuk menghibur diri. “Tak ada rampok yang kasih bunga!”

Ia menghampiri sofa dan duduk di sana. Napasnya terasa berat. Apa yang diharapkan dari perawan tua seperti diriku ini?Tak ada hal yang lebih menyedihkan dari lelaki dungu yang mengharapkan cintaku! Tak ada cinta di rumah ini. Tak ada satu pun benda berharga yang patut untuk dimiliki dengan cara yang tidak baik di rumah ini!

Ia mencium wangi bunga, serupa aroma parfum yang baru saja dibawa angin ke depan lobang hidungnya. Tapi ia ragu, apakah aroma itu adalah wangi bunga mawar. Tapi  seperti terkena sihir, perlahan Madam Anna bangkit dan berjalan kembali ke kamarnya. Dan tak ada hal yang lebih ajaib dari caranya berjalan yang begitu ringan, jauh lebih ringan dari beberapa saat lalu ketika ia menyeret kakinya untuk memeriksa pintu depan, atau melangkah dan meletakkan pantat ke atas sofa.

Ia menyentuh mawar itu dengan begitu pelan seolah sedang menghadapi benda ringkih dan mudah hancur.

“Ini memang mawar,” bisiknya ketika ujung-ujung jemarinya menyentuh kelopak bunga itu. “Bukan imitasi!”

Mawar itu lalu dalam genggamannya. Ia cium sembari memejamkan mata, seperti sedang menghirup wewangian dari surga. Ketika matanya terbuka kembali, aroma mawar masih memenuhi rongga penciumannya. Ia terduduk di tepi ranjang, yang segera mengembangkan debu dan kembali membuatnya terbatuk beberapa kali. Ia tahu, aroma yang barusan dihirupnya bukan berasal dari bunga mawar. Ia mulai merasa tahu, siapa yang menaruh mawar itu di kamarnya.

“Tapi, bagaimana ia bisa datang kemari?” ia bertanya-tanya dalam hati. Antara percaya dan tidak, antara mimpi dan terjaga.

***

Empat puluh tahun silam. Pemuda bernama Yulio Dauzar yang telah mencuri hatinya. Kala itu sang pemuda bernyanyi di sebuah pesta pernikahan anak salah seorang kawan Madam Anna. Dan tentu saja Anna menghadiri pesta tersebut. Itulah kali pertama Anna melihat Yulio Dauzar dan seketika itu pula sulit untuk mengingkari perasaannya terhadap pemuda tersebut. Wajah yang mengingatkannya pada Morris Albert. 

Feelings. Nothing more than feelings…

Anna mengaguminya, tetapi ia punya anggapan kalau Dauzar harusnya menjadi seorang penyanyi terkenal. “Harusnya ia bisa jauh lebih baik dari itu!“ katanya pada seorang yang duduk di sebelahnya dalam jamuan pesta pernikahan tersebut.

Kawan-kawan Anna datang dengan pasangan masing-masing, dan sebagian di antara mereka datang dengan anak-anak hasil perkawinan. Salah seorang bertanya pada Anna perihal kesendiriannya. “Oh, itu akan segera terjadi dan kalian akan menyesal karena telah buru-buru menikah!” ucap Anna untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Ketika acara usai, dengan penuh muslihat, Anna berhasil menemui Yulio Dauzar sebelum pemuda tersebut meninggalkan acara. Anna memberinya sekuntum mawar yang ia cabut diam-diam dari rangkaian dekorasi. Dauzar menerimanya, dengan sekulum senyum, lalu mencium bunga itu. Apa yang dilihatnya seperti sebuah mimpi dan sedikit pun ia tak bisa menduganya.

Anna tersentak tatkala Dauzar menyebut namanya.

“Hei, darimana Anda tahu namaku?”

“Siapa pun mengenal Anna,” sahut Dauzar dengan gaya mirip seorang aristokrat abad pertengahan.

“Kalau begitu apakah kita akan bertemu lagi?”

Dauzar menatap mata Anna beberapa detik, lalu menyahut, “Tentu saja, Anna!”

Demikianlah Tuhan merancang takdir untuk kita. Kalimat itu diucapkan Dauzar; lebih mirip seorang pengkhotbah ulung di sebuah mimbar ketimbang bait lagu, pada pertemuan berikutnya, tujuh hari kemudian. Dan sejak itu kebahagian menaburi hari-hari Anna walaupun tanpa pernyataan cinta, baik dari mulutnya sendiri maupun mulut Dauzar. Cinta terkadang tak perlu dinyatakan, karena mungkin justru akan menguap dan hilang, pikir Anna yang sebenarnya untuk mengusir ketakutannya terhadap mimpi yang semu; keraguannya terhadap yang disangkanya, dan terluka pada kenyataan yang tak diinginkannya.

Begitu pun, keakraban segera terjalin. Maka mereka bertamasya di gunung, di hari lain pergi ke pantai untuk melihat ombak dan matahari terbenam. Tetapi yang paling sering adalah menikmati kota dengan lampu-lampu yang ditata sedemikian rupa di sepanjang kanan-kiri jalan, yang kadang-kadang sinarnya terkesan sendu.

Mereka benar-benar seperti dua sejoli, dan siapa pun yang belum mengenal keduanya, tidak akan tahu kalau usia si lelaki jauh di bawah usia Anna. Itu karena Anna tampak jauh lebih muda daripada usianya.

“Ah, agaknya Tuhan tergesa-gesa mempertemukan kita!” kelakar Dauzar pada suatu hari. Di telinga Anna, suara Dauzar terdengar aneh kendati itu hanya kelakar belaka. 

Tetapi tak ada yang lebih tergesa bagi orang yang sedang jatuh cinta selain perpisahan. Tidak. Lebih menyakitkan dari sekadar berpisah, lantaran Dauzar seperti direnggut paksa dari keberadaannya di dunia ini. Dia menghilang. Kalau begitu Tuhan memang buru-buru, atau lebih buruk dari itu, lantaran kebersamaan kami belum genap tiga bulan. Itu yang diucapkan Anna di hampir setiap hari dengan perasaan yang benar-benar berantakan. Apakah lelaki itu sengaja mempermainkanku? Apakah terjadi hal buruk padanya? Dan bahkan aku belum sempat tahu di mana tempat tinggalnya. Anna menyalahkan dan membodoh-bodohkan diri sendiri. Sebenarnya ia pernah bertanya soal itu, tetapi Dauzar waktu itu dengan nada bercanda menyuruhnya untuk menebak, tetapi ia tak bisa melakukannya dan Dauzar enggan memberitahunya. Anna lalu menganggap perihal alamat rumah belum begitu penting untuk diketahui.

Kalau bisa disebut sebagai penderitaan, agaknya lebih panjang daripada kebahagiaan yang pernah dikecap Anna yang hanya sekejap saja itu. Sebulan penuh Anna mengurung diri di dalam rumah, tanpa sekali pun pernah keluar, meskipun hanya duduk di depan teras. Sang ayah hanya mengatakan, “Dia lebih pantas jadi anakmu!” Dan sang ibu, betapa pun berupaya untuk menghiburnya, hanyalah sisa-sia belaka.

Dan waktu-lah yang akhirnya meredakan itu semua, tetapi bukan tanpa sisa sama sekali. Nyatanya ia lebih memilih hidup sendiri walaupun 40 tahun peristiwa itu berlalu, tanpa sekali pun ada pertemuan. Ia hanya bisa melihatnya di layar kaca di setiap minggu pagi di sebuah acara musik. Dan saat pertama kali melihatnya, ia menjerit histeris dan tanpa sadar mengatakan, “Ah, tidak salah dugaku. Kau akhirnya jadi orang tenar!”

Di minggu-minggu berikutnya ia sanggup menguasai keadaan, dan melihat wajah kekasih di layar kaca setiap minggu pagi bukan lagi hal yang istimewa, apalagi dengan ekspresi berlebihan. Sampai akhirnya acara musik di hari minggu tidak lagi tayang entah karena apa, tetapi ia cukup merasa senang dan bangga bahwa lelaki pujaannya akhirnya menjadi terkenal, walaupun pada saat yang bersamaan kekecewaan masih merundung hatinya.

Ia ingat peristiwa itu, tetapi sekarang usianya hampir mendekati kepala delapan. Dauzar tidak pernah lagi muncul di layar kaca bahkan ketika banyak bermunculan televisi-televisi swasta dan hampir semuanya menayangkan program musik. Ia tak lagi mengharapkan lelaki itu muncul betapa pun ajaibnya. Sebab bagaimana pun, ia terlampau tua untuknya, juga untuk lelaki manapun. Anna memiliki kesadaran itu. Dan kalau ada lelaki berumur separuh lebih muda dari usianya memiliki cinta terhadapnya, lelaki itu pasti sudah gila, pikirnya.

Sebenarnya Anna pernah membeli sebuah album kaset pita berisi 12 lagu milik Dauzar, tetapi ia sudah lupa kapan terakhir kali memutarnya. Ia juga tak tahu, apakah kaset tersebut masih bisa diputar dengan baik atau tidak. Terlintas juga keinginan menyetelnya, tetapi seketika itu pula ia mengumpat lantaran tape recorder miliknya rusak di entah berapa tahun lampau karena terjatuh dari bufet akibat tanpa sengaja ia menyenggolnya. Rasa sesalnya kala itu tak sebesar dengan yang dirasanya sekarang.

“Memang sudah bukan jamannya,” gumamnya seolah berbisik kepada seseorang.

***

Tiga hari berlalu. Madam Anna masih memikirkan mawar misterius itu. Sekarang ia memandangnya tanpa sedikit pun gairah; mawar itu mulai layu, dan menyedihkan di atas meja kamarnya. Perlahan ia merengkuhnya ke dalam genggaman. “Terkutuklah hidup ini,” ucapnya, dan tersentak ketika mendengar dering telepon.

Masih menggenggam mawar, Anna berjalan kembali ke ruang tengah untuk mengangkat telepon. Ia tak menyadari langkahnya lebih cepat dari biasanya.

“Halo?” katanya, dengan suara penuh semangat, walaupun napasnya terengah-engah.

Terdengar sahutan di seberang. Ia merasa tak mengenal suara itu. Suara seorang lelaki. Serak dan berat.

“Siapa?”

Suara di seberang menyebutkan sebuah nama. Tetapi Anna tetap merasa tak mengenalnya.

“Aku tidak memiliki kawan yang bernama Markun!”

Anna hampir saja menutup telepon, ketika suara di seberang mengatakan bahwa dirinya adalah kawan kecilnya. Kawan semasa sekolah dasar dulu.

Anna tersentak, dan segera teringat dengan mawar dalam genggaman, dan mawar yang ia buang ke sampah saat Markun dulu memberinya.

“Astaga!”

“Maafkan anakku, Anna!”

“Anakmu?”

“Ya. Maafkanlah dia. Supaya jiwanya tenang!”

“Aku tidak mengerti!”

Markun kemudian menjelaskan kalau lelaki itu adalah anaknya. Dan meninggal sekitar seminggu lalu karena sebuah kecelakaan.

“Sehari sebelum hari nahas itu, dia menceritakan perihal masa lalunya, perihal dirimu, Anna. Dia ingin memberikan bunga mawar untukmu! Maaf kalau baru sekarang bisa kuberikan. Aku masih berkabung.”

Mendadak Anna terbatuk hebat.

Anna meletakkan gagang telepon di atas meja begitu saja. Ia tidak mendengar Markun berteriak memanggili namanya, dan meminta maaf karena telah lancang masuk ke rumahnya diam-diam. Sementara bayangan bocah tolol menari-nari di dalam pikirannya. Anna memanggil-manggil nama Tuhan. Meminta agar jangan lagi bercanda padanya perihal bocah sialan itu.[]


Penulis:

Y Agusta Akhir adalah penikmat sastra dan aktif di komunitas Kawan Semua, Forum Sastra Siang (Forsas) Solo. Menulis puisi, cerpen dan novel.Karyanya dimuat di beberapa media dan antologi bersama. Novelnya yang pernah terbit Requiem Musim Gugur (Grasindo, 2013), Kita Tak Pernah Tahu Kemanakah Burung-burung Itu Terbang (UNSA Press, 2017).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *