Cerpen
Tes Wawasan Kebangsaan

Tes Wawasan Kebangsaan

“RASAIN lu!” umpat Romlah begitu mendengar Angelina salah ucap. Salah ucap itu terjadi dalam ajang kompetisi untuk para perempuan cantik dengan jargon 3B: Brain, Beauty, Behaviour. Ketika itu salah satu dewan juri meminta Angelina menyebutkan sila-sila dalam Pancasila untuk mengetes wawasan kebangsaannya. Tanpa masalah ia berhasil menyebutkan sila pertama sampai ketiga. Namun, begitu ia menyebut sila keempat yang agak panjang, mendadak lidahnya kelu, ruangan sekitar dirasainya berputar, kemudian lidahnya terpleset ketika menyebut sila keempat, dan ia pun tercebur dalam jurang malu.

Romlah marasa benar-benar puas melihat kejadian itu. Romlah adalah teman Angelina sedari kecil. Sebenarnya dikatakan teman juga mereka tidak pernah dekat juga. Memang rumah mereka berdekatan, hanya berkisar enam puluh tiga langkah, namun jarak sosial antara keduanya teramat jauh. Meski secara fisik mereka sesekali bertemu di jalan, namun mereka hanya sekali dua bertegur sapa. Dulu mereka sempat akrab ketika ayah Romlah bekerja sebagai tukang kebun di rumah Angelina. Tapi, itu hanya sebentar, sungguh sangat sebentar.

Romlah dari dulu merasa iri dengan Angelina yang dengan kecantikannya selalu mampu memikat mata lelaki. Para pelaki itu selalu dibuat berdecak kagum ketika melihatnya. Sebenarnya Romlah tidak jelek juga, hanya saja kulitnya seperti sawo kelewat matang. Ia sebenarnya lahir tidak seperti itu, namun aktivitasnya yang banyak di jalan membantu emaknya berjualan nasi keliling, membuat kulitnya terlalu sering bercumbu matahari. Romlah iri dengan Angelina yang kulitnya begitu terang, jika terkena sinar matahari akan terlihat semakin benderang.

Angelina memang jarang keluar rumah, dari kecil ia sekolah di rumah. Romlah berpikir, seandainya ia juga sekolah di rumah, ia tidak akan kalah cantik oleh Angelina; ia tidak akan perlu dicumbu terik matahari dalam setiap upacara bendera. Padahal bukan itu alasan orang tua Angelina menyekolahkan anaknya di rumah, bukan karena takut kulit anaknya terbakar matahari, tapi untuk menjauhi Angelina dari anak-anak berandal di kampung yang suka mencuri dan berbicara kotor. Selain itu ayah Angelina juga tahu kualitas sekolah negeri—tentu saja ia tahu—ia adalah elit di Kementrian Pendidikan. Ketika masuk SMA, Angelina dikirim melanjutkan sekolah keluar negeri agar ia bisa bergaul dengan orang-orang hebat di luar sana. Ia dikirim ke Australia dan terus berada di sana hingga menyelesaikan studi pascasarjana dengan mengambil program studi Manajemen Sumber Daya Manusia.

Awalnya Romlah hanya sekadar iri dengan Angelina. Namun, lama kelamaan rasa iri itu berubah menjadi benci. Semua bermula ketika Romlah berusia 14 tahun dan Angelina berusia 15 tahun. Romlah menyukai Hendri, pemuda paling keren di kampungnya. Sayangnya Hendri telah terpikat oleh kecantikan Angelina. Berkali-kali Hendri menyatakan perasaannya kepada Angelina, berkali-kali pula ia ditolaknya. Ingin sekali Romlah menyatakan perasaannya pada Hendri, tapi apa daya, ia takut dipandang sebagai perempuan kegenitan. Ada aturan sosial tidak tertulis yang harus ia patuhi, yakni hanya pria yang menyatakan perasaan dan perempuan cukup menunggu.

Saat ini Romlah telah berusia 26 tahun dan telah memiliki anak berusia 7 tahun. Ketika ia melihat Angelina mencoba peruntungannya sebagai Putri Indonesia, rasa iri yang nyaris hilang itu datang lagi. Ia kesal melihat Angelina yang seperti tak termakan usia; Angelina berusia 27 tahun, tapi ia terlihat seperti berusia 17 tahun; Romlah berusia 26 tahun, tapi terlihat seperti berusia 36 tahun. Ia menghibur diri dengan mengatakan semua itu karena Angelina masih lajang, ia tidak perlu direpotkan dengan tetek bengek mengurus anak. Setiap mengingat hal ini, Romlah kembali kesal kepada orang tuanya yang memaksanya menikah muda, belum genap 18 tahun.

Romlah menikah muda karena orangtuanya ingin segera lepas tanggung jawab. Anak mereka terlalu banyak dan Romlah selalu menuntut untuk bisa kuliah. Ketika Eko, pria berusia 34 tahun, seorang duda beranak satu yang bekerja sebagai mandor pada pabrik konveksi datang meminangnya, orangtua Romlah langsung menerimanya. Sebenarnya sampai saat itu Romlah masih membayangkan Hendri-lah pria yang akan datang meminangnya. Tapi hidup Hendri berantakan, ia frustrasi dan sering mabuk-mabukkan setelah berkali-kali ditolak Angelina. Romlah akhirnya menerima lamaran Eko yang berjanji akan membiayai kuliahnya. Sayang setelah menikah, Eko lupa pada janjinya. Ia lari meninggalkan Romlah bersama anak yang belum gepan berusia setahun untuk menikah lagi dengan gadis yang jauh lebih muda. Kini, Romlah menjadi orangtua tunggal yang harus menafkahi anaknya. Ia bekerja keras sebagai buruh sebuah pabrik ice cream dan melupakan mimpinya melanjutkan kuliah.

Ketika Angelina masuk 6 besar dan hanya tinggal menyisihkan 5 orang lagi untuk menyandang status Putri Indonesia, setiap hari warga di kampung Romlah menggelar nonton bareng karena merasa bangga ada orang yang tinggal di sekitar kampung mereka muncul di televisi. Meskipun, tentu saja, kampung Romlah dan kompleks perumahan Angelina dipisahkan dinding besar serupa tembok Berlin yang tidak akan roboh meski orang-orang komunis bangkit dari kuburnya.

Romlah semakin kesal dengan Angelina, apalagi setelah warga kampung memujinya terus-menerus. Puncak kekesalan Romlah datang ketika Angelina membahas-bahas permasalahan terbesar pendidikan di Indonesia, yang mana menurutnya disebabkan oleh terlalu banyak wanita kurang terdidik yang memilih menikah muda ketimbang melanjutkan pendidikan. Tertohok rasa jantung Romlah mendengarnya, seolah kata-kata itu memang ditujukan secara khusus untuk dirinya.

“Asu! Dia tidak tahu masalahnya, tapi bicara seenak udelnya.” Romlah mengumpat sejadi-jadinya ketika mendengar Anglina memaparkan permasalahan perempuan dan pendidikan di Indonesia. Romlah kemudian berdoa meminta Tuhan untuk membuat Angelina tersandung. Entah doanya terkabul atau Angelina hanya panik, ia terpleset ketika menyebut sila keempat. Romlah merasa puas, dendam kesumatnya seolah lunas terbalas ketika ia mendengar komentar-komentar buruk menjelekkan Angelina di warung tempat ia biasa berbelanja.

“Warga negara macam apa itu? Kok tidak hapal Pancasila?” tanya Asep kesal.

“Percuma kuliah di luar negeri kalau tidak hapal Pancasila,” Udin menambahi.

“Bisa-bisanya lupa dengan ideologi negara,” tambah Sobari yang selalu tidak pernah mau ketinggalan.

“Betul. Percuma cantik kalau tidak hapal Pancasila,” kata Agus yang dulu selalu ileran setiap melihat Angelina.

Romlah yang dulunya selalu memasang wajah ketus setiap bertemu tetangganya, kini selalu tersenyum. Setiap hari wajahnya terlihat semringah. Tetangga-tetangganya sampai heran dibuatnya. Namun, senyum Romlah tidak berlangsung lama—karena tidak lama setelah itu, sebuah opini membela Angelina muncul di suatu harian nasional. Kemudian, opini-opini lain yang membela Anglina semakin banyak bermunculan dari pelbagai media. Pembelaan itu meluas ke ranah media sosial dan berhasil memengaruhi pandangan masyarakat secara luas. Bahkan, warga kampung tempat Romlah mukim yang sebelumnya tidak pernah bersentuhan dengan koran pun, ikut-ikutan membela Angelina.

“Kasihan, mungkin saja dia tegang. Siapa sih yang tidak tegang dalam panggung sebesar itu?” kata Asep memaklumi.

“Iya benar. Lagian sejak kapan hapal Pancasila jadi indikator pintar?” tanya Udin.

“Indikator pintar harusnya universal, kecuali indikatornya nasionalisme mungkin iya, harus hapal Pancasila,” jelas Sobari sok pintar.

Romlah nyaris meledak mendengar komentar warga kampungnya yang kemarin menjelek-jelekkan Angelina, kini malah berbalik membelanya. Sejak kapan pula warga kampungnya mengenal kata indikator—kata yang seharusnya teramat asing untuk lidah mereka yang udik. Romlah akhirnya tidak tahan dan ikutan nimbrung.

“Jangan sok tahu kalian Pancasila itu universal,” sergah Romlah.

“Tahu dari mana kamu Romlah? Jangan sok tahulah. Kuliah tidak selesai juga,” balas Sobari mengejek. Teman-teman Sobari pun tertawa terbahak-bahak.

Romlah kesal. Ia merasa yakin bahwa Pancasila itu universal setelah membaca buku kisi-kisi soal CPNS untuk materi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Ia pernah mencoba ikut seleksi CPNS untuk menjadi sipir, namun gagal di Seleksi Kompetensi Dasar (SKD). Dalam buku tebal yang harganya lebih mahal daripada uang jajan bulanan anaknya, ada materi tentang Pancasila sebagai ideologi negara. Sebagai ideologi negara Pancasila menganut nilai-nilai yang universal. Dalam buku itu, dibahas juga ideologi negara lain seperti liberalisme, komunisme yang dipercaya sebagai ideologi yang buruk. Romlah menjelaskan berdasarkan apa yang dibacanya di buku itu. Ia menguliahi Asep, Udin, Agus, dan Sobary. Romlah mengatakan seandainya negara-negara lain ikut menganut ideologi Pancasila, koruptor pasti jera, KPK berjaya, dan rakyat sejahtera.

“Tapi, kamu kan tidak lulus kuliah?” balas Agus tidak peduli dengan penjelasan Romlah.

Romlah mengumpat, setelah itu putar badan tanpa pamit. Sepanjang jalan ia ngedumel tentang kebodohan dan kesoktahuan warga kampungnya. Percuma menjelaskan Pancasila kepada mereka yang bahkan sekolah pun tidak sampai SMA. Buat dia dosa terbesar warga negara adalah tidak hafal Pancasila—karena Pancasila adalah ideologi negara yang meliputi segala aspek kehidupan bernegara, mulai dari bagaimana berprilaku sampai bagaimana hukum berlaku.

Sesampainya di rumah, ia segera meminum es teh yang tadi dibelinya di warung. Kemudian memainkan hape pintarnya, mencari-cari berita yang menjelek-jelekkan Angelina untuk menghilangkan dahaga yang tidak mampu dihilangkan oleh es teh. Saat sedang berselancar, ia dikejutkan oleh judul berita, “Korupsi Rp. 877 Miliar, Dirjen Pajak Dihukum 2 Tahun Penjara.” Begitu membacanya, ia menyemprot es teh yang sedang diminumnya. Ia kaget karena orang itu adalah orang yang sama yang meminta Angelina menyebut sila-sila dalam Pancasila.

“Asu!” teriakannya melengking hingga memantul-mantul di dinding rumahnya yang sepi perabotan. Saat itu ia tidak lagi peduli pada Angelina.[]

~Blencong, 2020-2021


Penulis:

ALIURRIDHA. Penerjemah dan pengajar Toefl. Menulis esai, opini, dan cerpen. Karyanya tersebar di pelbagai media cetak maupun daring. Cerpen-cerpennya telah terbit di Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Fajar Makassar, Kompas.id, dan Magrib.id. Aktif berkegiatan dan berproses dalam komunitas Akarpohon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *