Wasiat Ibu
Ibu telah berwasiat untuk menguburkan jasadnya di belakang rumah. Dua puluh hari setelah ia berwasiat, ia mangkat dengan damai.
Ibu telah berwasiat untuk menguburkan jasadnya di belakang rumah. Dua puluh hari setelah ia berwasiat, ia mangkat dengan damai.
“Ada, tapi ini terlalu gelap,” katanya lagi. “Hidup orang-orang sudah gelap dan susah, jangan sampai mereka bertambah susah karena baca tulisan yang gelap.”
Nenek mulai sering duduk di dekat jendela. Memakai kacamata kuno yang ukuran lensanya mirip kerupuk bundar. Kedua matanya selalu menyipit dengan posisi kepala agak miring agar penglihatannya tepat terarah ke layar HP Nokia polyphonic yang dipegangnya.
Malam menggerayangi. Lelaki itu terjaga. Ia baru saja memeluk bulan dalam mimpi. Tubuhnya beranjak dari tempat tidur. Kakinya bergerak menyeret sandal jepit.
Hujan bahagia basahi tenda putih biru persegi itu. Semua orang bungah. Pagar ayu telah siap dengan gaun maron dan bunga tempel di kerudung, para tetangga sigap membantu ke sana-sini, dua hansip berkumis kelabu membenahi sabuknya siap berjaga.
Lengan kekar secara reflek mengayun ke arah pipi gadis muda itu. Sontak, si gadis terduduk memegangi pipinya yang panas. Air matanya menggenang menahan sabak yang meruak. Namun demikian, hatinya lebih gusar menerima perlakuan kasar dari laki-laki itu.
Azan Magrib tiba. Di kantin Jetlag Cart Corner, Bandara Soetta, dua orang berebutan sekotak nasi goreng hangat. Kalau sudah azan Magrib, semua orang buru-buru ingin mendapatkan makanan untuk buka puasa.
Sering timbul pertanyaan dalam benakku pada Ferdian, namun pertanyaan-pertanyaan itu tak mampu aku lontarkan, lalu semua seperti menjadi teka-teki yang cukup menghantui sepanjang pertemanan kami, hingga akhirnya aku ingin mengungkapnya sendiri.
Suasana tiba-tiba gelap. Langit seolah mendung. Gafo masih membayangkan bagaimana perempuan itu mengedipkan mata sayunya setiap pagi. Gafo lantas merasakan sakit kepala luar biasa. Gafo berteriak sekuat tenaga. Si pelayan panik bukan kepalang.
Tanpa ba-bi-bu Asep menyeretku keluar rumah. Ia mengajakku menaiki motornya. Tentu sebelum pergi, aku kunci pintu rumahku dulu. Kami pergi ke suatu tempat yang tidak asing bagi kami. Sebenarnya aku tidak begitu yakin dengan saran Asep. Aku sudah tidak percaya dengan tempat yang Asep anggap dapat menyelesaikan masalahku.