Puisi Fatah Anshori
menapaki jalan-jalan
sunyi dalam diri
dengan pedati
hingga nyawiji
menapaki jalan-jalan
sunyi dalam diri
dengan pedati
hingga nyawiji
Tentu saja kehadiran orang tua itu mengundang media-media besar di kota itu untuk meliputnya. Telah lama mereka tak melihat wajah yang menua. Dan ia mati dalam damai, meski tubuhnya dikerubungi lalat dan menggeluarkan belatung.
ia ingin mati dan hidup sekali lagi.
adakalanya mereka semua akan mengerti
bahwa ini adalah sebuah kekalahan
dari keinginan yang terlalu berlebihan.
Perempuan itu semula diam. Tidak tertarik menjawab pertanyaan yang diajukan polisi itu. Namun, dia tidak kuasa bisa bertahan. Semakin dia membisu, keadaannya akan sangat buruk.
Barangkali kematian bukan sewarna minuman
anggur persembahan pemberian para raksasa
kepadamu,
sehingga ketika meneguknya kau tidak seperti merasa
kegelisahan mengalir di tubuhmu.
Lelaki paruh baya itu memonyongkan bibir, menciptakan bunyi siulan nyaring, persis seperti yang pernah dia lakukan kala menggoda Ibu sewaktu masih perawan dulu. Bedanya, kali ini bukan Ibu yang dibuat tersipu malu olehnya.
Kesunyian lantas menjadi jeda kami berdua. Bahkan ketika perempuan itu pamit pulang, aku sama sekali tak menanggapinya. Kubiarkan saja perempuan itu meninggalkan rumahku dengan tetesan air mata.
Kami menyambutmu
di pesisir Bangkalan sebagai sunan
yang membawa Nur Muhammad
dari lidah Adityawarman.
Sunare baskara saka brang wetan
Angete mrambat sajroning sukma
Ngaras saranduning sarira
Kang lagi tapa brata golek pangupa jiwa
Tangga kiwa-tengene padha kresah-kresuh. Sing dirembug ora liya ngenani swara tangis sing wis pirang-pirang bengi tansah keprungu. Asale saka papan sing ajeg, omahe Mbah Sun.