Seekor Buaya yang Melata dari Kelopak Mata
Seorang pria mengalami mimpi buruk yang melibatkan seekor buaya berulang kali. Dan setiap kalinya, ia selalu terbangun dengan keringat dingin di kening.
Seorang pria mengalami mimpi buruk yang melibatkan seekor buaya berulang kali. Dan setiap kalinya, ia selalu terbangun dengan keringat dingin di kening.
ini tanggal berapa? apakah ini hari selasa?
konon ini adalah hari yang bahagia untuk mati.
matahari masih remang enggan beranjak menuju pagi
aroma kopi meruap keluar dari cangkir.
Nalika dimatke, Bantar kaya wis nate weruh wewujudan kijing mau. Banjur dheweke mlaku nyedhak, kepengin nyatakake apa sejatine wewujudan jaran putih kang isa malih dadi kijing. Njegreg lir reca kang sinabda, kagyat penggalihe sawise weruh apa kang tinulis ana kijing.
DARI peristiwa-peristiwa keseharian yang luput dari perhatian manusia kebanyakan, puisi-puisi Hilmi Faiq ditulis. Ia memanfaatkan bahasa sehari-hari, sindiran, kritik, yang meminta ruang perenungan pembaca. Saya menemukan dua hal yang menarik dalam buku Peristiwa-Peristiwa Nyaris Puitis (Gramedia Pustaka Utama, 2023) ini.
Malaikat yang sekarat itu meraih tubuh kawannya yang terus terisak. Ia ingin membasuh lukanya, “dengarkan aku! Orang Mardika, riuh perang akan berhenti jikalau kalian semua berhenti menghamili kebencian,” bicaranya tersendat oleh ulu hatinya yang terus mengucur, “Kita bukan hanya membenci, tetapi jatuh cinta dan bersenggama dengan benci. Ia dengan bengisnya membunuh, dan kau berkata mayat itu begitu indah.”
nama seniman yang kukenali, tetapi,
siapa yang tahu apa yang terjadi saat cat tumpah?
kini anak-anak tak lagi dibekali ikan asin,
Oh, indahnya masa kecil itu. Hingga ketidaktahuan pun nyatanya jauh lebih menyenangkan, dan mungkin itulah penyebab kenapa banyak sekali orang bodoh.
Suara menjadi pecah menjelang sore. Apalagi untuk katakan kata-kata cinta.
Tak sampai dua minggu, mereka ditemukan mati satu persatu di halaman rumah atau di jalanan. Satu-satunya anjing yang tersisa kini hanya Jojo, anjing milik Kang Bahar.
Putu Wijaya pernah berkata, “Para penulis perempuan seperti gumpalan burung yang jatuh dari udara, menyerbu kehidupan sastra Indonesia, memasuki milenium ketiga. Masing-masing dengan dunianya. Ada yang cerdas, radikal, bebas, bahkan lebih gila dari lelaki. Tetapi ada yang gaul, melankolis, puitis, komunikatif, santun, namun sesungguhnya memberontak.”