Mengulik Jiwa Peradaban

Simulakra dan Paradoks Manusia Urban

DARI peristiwa-peristiwa keseharian yang luput dari perhatian  manusia kebanyakan, puisi-puisi Hilmi Faiq ditulis. Ia memanfaatkan bahasa sehari-hari, sindiran, kritik, yang meminta ruang perenungan pembaca.  Saya menemukan dua hal yang menarik dalam buku Peristiwa-Peristiwa Nyaris Puitis (Gramedia Pustaka Utama, 2023) ini.

Orang Mardika dan Mitos Para Peri

Malaikat yang sekarat itu meraih tubuh kawannya yang terus terisak. Ia ingin membasuh lukanya, “dengarkan aku! Orang Mardika, riuh perang akan berhenti jikalau kalian semua berhenti menghamili kebencian,” bicaranya tersendat oleh ulu hatinya yang terus mengucur, “Kita bukan hanya membenci, tetapi jatuh cinta dan bersenggama dengan benci. Ia dengan bengisnya membunuh, dan kau berkata mayat itu begitu indah.”

Perempuan dalam Pagar Budaya Madura

Putu Wijaya pernah berkata, “Para penulis perempuan seperti gumpalan burung yang jatuh dari udara, menyerbu kehidupan sastra Indonesia, memasuki milenium ketiga. Masing-masing dengan dunianya. Ada yang cerdas, radikal, bebas, bahkan lebih gila dari lelaki. Tetapi ada yang gaul, melankolis, puitis, komunikatif, santun, namun sesungguhnya memberontak.”

Puisi Zaidan Dhiya

1. Sebuah garis berangkat menuju yang bukan pulang Dan yang terputus-putus dari kemarin atau sedikit shoegaze ringan setelah Frankenstein dan menangis untuk ingatan tentang buah di tengah meja Kau diam dan telanjangUntuk lurus dan bayangan-bayangan yang terlipat, yang penggaris dan lonceng pagar 2. Besok dan sesekali menjadi biru Pembatas —mana yang bukan jalan menuju percakapan atau sesekali meraba ubun tuhan. […]

Puisi Eddy Pranata PNP

Bau hutan menguar. Matahari masih tertutup kabut. Langkah
mendaki menelusuri jalan setapak. Embun. Debar dada
Dedaunan kuning berguguran. Kenyataan. Menakik getah
Serupa menjerit ia toreh kulit pohon pinus. Bertahun-tahun
: “Aku serahkan segalanya, usia dan doa-doa, penyair!”