Puisi Miftachur Rozak
Maka dengarkan kisah sabana.
Sebab malam-malam kuhabiskan berdansa dengannya.
Melewati angin, pohon-pohon akasia, batu-batu mulia,
serta desir-kepak sayap malaikat.
Maka dengarkan kisah sabana.
Sebab malam-malam kuhabiskan berdansa dengannya.
Melewati angin, pohon-pohon akasia, batu-batu mulia,
serta desir-kepak sayap malaikat.
tapi di matanya
tak ada airmata negara,
sebab negara menjelma
sosok yang maskulin
menapaki jalan-jalan
sunyi dalam diri
dengan pedati
hingga nyawiji
ia ingin mati dan hidup sekali lagi.
adakalanya mereka semua akan mengerti
bahwa ini adalah sebuah kekalahan
dari keinginan yang terlalu berlebihan.
Barangkali kematian bukan sewarna minuman
anggur persembahan pemberian para raksasa
kepadamu,
sehingga ketika meneguknya kau tidak seperti merasa
kegelisahan mengalir di tubuhmu.
Sebab malam tanpa kabaret
dan lenguh bising terompet
masih adakah hari ini?
Kami menyambutmu
di pesisir Bangkalan sebagai sunan
yang membawa Nur Muhammad
dari lidah Adityawarman.
siang bolong. baunya seperti kota roma yang sengaja dibakar kaisar nero. membuat rute. membuat pantheon. membuat jalan yang dilalui para stoik. separuh langit runtuh. membuat lubang sedalam 3 kaki. menghidupkan biola mati di gendang telinga diogenes. membuat tanda tanya di dalam kepalamu. membuat sebuah waktu yang selalu terlihat terburu-buru–diam, kemudian duduk manis di antara tatap mataku & pipi merahmu.
Dengan belalai ini,
aku semburkan banyu Mahakam
ke tubuh sendiri,
sebelum taringku kau ambil
Hari-hari Pandemi
ia melingkar dan berharap kabar datang di dalam debar
bersama getar di telepon genggam
sebelum malam berganti
dan pagi kembali