Puisi Rehan Naza
ketika rumah terjaga dari lelahnya. sesekali
ia membangunkan ibu. untuk sekadar
menemani buang air atau untuk meminta air.
ketika rumah terjaga dari lelahnya. sesekali
ia membangunkan ibu. untuk sekadar
menemani buang air atau untuk meminta air.
Telah purna hingar kota menjelma kesunyian.
Pada sepat mata kita yang lebam—usai dibuahi malam—
masihlah kantuk; begitu tulus mengelus pelupuk.
Demikian romansa itu berlangsung
Memasung dada yang penuh oleh cinta
Hari-hari cuma tahu cara berganti baju
Dan Mandelstam merabai sunyi
Menampih seracik ilusi.
Setali gelisah yang kau pukat pada buku catatan bertongkat diam
rindu cukup tua beserta sebundel catatan kaki yang kita pukas ikut renta tertata
buku harian semesti diasingkan malah bersekutu erat kedua buah bibirmu
kesepakatan meluhurkan birahi retas sebelum tanduk ijab disilakan
di muka penghulu
Kausiapkan cangkir-cangkir keramik, menuang laut/
mencipta samudra warna yang hangat, menceritakan
perjalanan hiu, daun teh, & melati, lalu menghadirkan
telenovela di meja – kau memberitahuku jam tayang
& waktu yang banyak, menyingkirkan telepon genggam
ADALAH DUNIA, setiap tujuan ditandai setiap tujuan menuju tanah impian, gerbang satu lubang, menganga cahaya menyilaukan. kaki-kaki bergegas menyeret kepenatan melawan kepasrahan menembus cahaya membutakan.
Kota ini kerap berandai-andai, menghapus
kerak lunyai dari paras tembok
gang-gang pelosok.
Pada bulan kesembilan itu, aku kembali
masuk dan merasakan sunyi rahim ibu.
Serupa menonton tayangan ulang,
peristiwa 9 bulan bersama doa bapak-ibu
dulu kini terlihat lagi di gelap mata sunyi.
Tak ada yang tahu, bahwa kegelapan masih ada
dan cahaya tetap menjadi milik rahasia
Aku duduk termangu
di bangku taman
bangku yang terbuat dari ban
Ban yang dulu membawa kendaraan
dan orang-orang
Berjalan-jalan—tanpa tujuan
Kini diam
Menghadap lengang jalan.
Sunyi Di Kota Gulang _Osip Mandelistam Setelah sunyi di hari pertama mengapungDi Sebria tampak waktuMenunggu kelahiran baru. Mungkin ombak terjebak dalam kekecewaanDengan keberhasilan kerangHinggap di karang. Sedepa kemudian, sebelum kau mabukDi suatu kepalsuan bernada ringkih, seperti merahAnggur menampih ilusi seamis darah. Padahal semalamMimpi buruk turun ke teras rumahMenemui tamu, melayaninya seramah rindu. Selalu dendam yang kau puja,Meski di langitBintang cuma […]