Diari

DINA tertegun di depan gerbang sebuah rumah. Rumah bagai istana. Rumah yang luasnya ratusan kali rumah kontrakannya. Apalagi megahnya. Rumah berpagar besi setinggi dua meter lebih, taman tertata indah, bertingkat entah berapa lantai dan berbalkon. Seperti rumah mewah di sinetron nasional.

Lukisan Anggrek Bulan Merah

DI pelataran rumah, di bawah pohon srikaya, sambil menyirami bunga-bunga anggrek yang bermekaran, Dewanti teringat dua sahabatnya, pendaki gunung yang hilang tak kembali, tak diketahui di mana mereka lenyap dalam pendakian. Dua sahabat lelaki di kampus yang sudah sangat berpengalaman mendaki itu berpisah dengannya di bawah pohon randu alas, hampir mencapai puncak gunung. Dewanti berhenti di bawah pohon randu alas tua itu, ingin mendapatkan bunga anggrek bulan merah yang tumbuh di dahannya. Ia membujuk kedua sahabat lelakinya untuk memanjat pohon randu alas yang begitu besar, dan mereka tak mampu melakukannya.

Purnama Meninggalkan Kota

GADIS berambut hitam sebahu itu melesat melewati deretan toko-toko, para pejalan kaki, dan dengan amat sembrono menerobos jalan raya yang padat kendaraan. Beberapa pengendara terkejut karena ulahnya mengumpat, tapi ia tak peduli. Terus saja berlari pontang-panting. Mengabaikan sesak yang mendesak-desak rongga dadanya dan kram yang mencengkeram kedua paha hingga betisnya. Sekali ia menoleh ke belakang, dilihatnya lelaki-lelaki bertubuh kekar itu masih terus mengejar. Terpaut belasan meter saja darinya.

Pak Din dan Siaran Kolak Muncul

SETIAP bulan Ramadan tiba, aku akan selalu ingat masa kecil saat aku menjalani puasa di kampungku, sebuah kampung yang terletak di pedalaman yang jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk kendaraan serta mesin pabrik. Aku dan keluarga serasa menjalani puasa yang benar-benar penuh khidmat dan penuh makna. Berbeda dengan yang kujalani saat ini, saat aku telah memiliki kehidupan sendiri sebagai warga perantauan di kota besar.

Terka

Semak sial. Rumput liar. Buruk rupa. Begitulah aku biasa dipanggil. Secara alamiah, aku tumbuh rendah di tanah. Dedaunanku menyusup liar di sela-sela tanaman hias sejenis rumput milik Nyonya Alamanda yang ditanam jarang-jarang.

Soliter

Mata-mata itu mengerkau bagai otoritas yang memberi panggung untuknya menayub lebih liar, serupa kisah perempuan nestapa, Troffea, berabad-abad lampau yang menari dan terus menari membabi-buta selama berhari-hari, berminggu-minggu, hingga telapak kakinya melepuh royak, kelelahan, lalu berhenti—selamanya.

Kuli Bawah Tanah

MATA Bungaran yang lancip selalu menatap dinding kamar kuning mengelupas. Dinding bagian barat, terdapat foto ibunya dengan pigura cokelat kehitaman. Satu foto putih abu-abu yang tersisa setelah hari—yang dianggap Bungaran—pemberangkatan. Setiap hari Minggu, tangan Bungaran menjangkau pigura itu dan mengelapnya dengan sobekan kain. Sekadar untuk menerbangkan debu-debu yang bersarang di sana.

Pengarang Telah Mati

Saya mendongak. Langit sedikit mendung, tapi sinar matahari masih bisa menerobos jatuh dan menyebar di mana-mana. Ada suara rekaman dari masjid—orang gotong royong, kendaraan melintas, dan seekor capung tampak murung di pucuk daun. Saya perhatikan capung itu, sayapnya runduk, mata palsunya sesekali bergerak waspada, awas pada apa yang ada. Barangkali serangga itu merasa satu-satunya ancaman adalah saya.

Diary Keana

Tiba-tiba ada yang muncul di rak buku kamarku, sungguh tak masuk akal! Seekor kupu-kupu merah hinggap di sana, duduk terdiam, melipat kaki, membiarkan sayapnya terbuka sempurna di rak ke lima dari susunan paling bawah, meski aku sendiri tak tahu bagaimana cara kupu-kupu duduk. Di antara tumpukan buku, sambil sedikit merambat, ke enam kakinya menapaki Kisah-kisah Kecil & Ganjil.

Kursi Kayu Penyair

DI hadapan kenangan, manusia selalu menjadi sesuatu yang pecah dan retak—dan barangkali hal itu juga terjadi pada diriku. Ah! betapa seharusnya aku memperkenalkan diriku terlebih dulu. Aku adalah sebuah kursi kayu, yang sangat sederhana. Sebuah kursi kayu yang menjadi teman duduk, dalam arti yang sesungguhnya, dari seorang lelaki—yang kutahu bekerja sebagai seorang penyair. Ialah yang memberi nama Aros.