Gracella

GADIS kecil itu terkurung di dalam tabung kaca raksasa berisi cairan putih kental seperti santan. Ia menggeliat, meronta-ronta, berupaya memecahkan tabung itu sekuat tenaga. Dengan tangan dan kakinya, ia memukul dan menendang, bahkan ia juga membenturkan kepalanya hingga terdengar bunyi ‘dung-dung-dung’ yang menggema panjang, memenuhi lorong-lorong, ruangan demi ruangan di dalam sebuah objek terbang raksasa yang sedang berlabuh di sudut jauh galaksi Andromeda.

Dermaga Aeng Panas

DERMAGA Aeng Panas, dermaga yang muram di sore hari. Cahaya senja jatuh di permukaan air, perahu-perahu terombang-ambing tanpa muatan, camar-camar terbang rendah di antara riuh ombak yang menabrakkan dirinya pada batu-batu karang. Semua seolah diciptakan hanya untuk dirinya sendiri, seperti puisi yang menolak untuk dimengerti.

Tes Wawasan Kebangsaan

“RASAIN lu!” umpat Romlah begitu mendengar Angelina salah ucap. Salah ucap itu terjadi dalam ajang kompetisi untuk para perempuan cantik dengan jargon 3B: Brain, Beauty, Behaviour. Ketika itu salah satu dewan juri meminta Angelina menyebutkan sila-sila dalam Pancasila untuk mengetes wawasan kebangsaannya. Tanpa masalah ia berhasil menyebutkan sila pertama sampai ketiga. Namun, begitu ia menyebut sila keempat yang agak panjang, mendadak lidahnya kelu, ruangan sekitar dirasainya berputar, kemudian lidahnya terpleset ketika menyebut sila keempat, dan ia pun tercebur dalam jurang malu.

Perkara Dua Mantan Kombatan

KAMI menyusuri sebuah lorong beraspal. Beberapa lampu jalan yang tegak di setiap dua puluh meter menyala pucat. Saman berhenti dekat sebuah poster seorang lelaki bertubuh pendek, di bawahnya dengan tegas tertulis Sang Pemenang. Saman menunjuk ke poster itu lalu berkata, “Dia dan aku pernah berlatih di Libya. Aku seniornya. Tapi, sekarang dia menjadi sang pemenangnya. Pukima!”

Diari

DINA tertegun di depan gerbang sebuah rumah. Rumah bagai istana. Rumah yang luasnya ratusan kali rumah kontrakannya. Apalagi megahnya. Rumah berpagar besi setinggi dua meter lebih, taman tertata indah, bertingkat entah berapa lantai dan berbalkon. Seperti rumah mewah di sinetron nasional.

Lukisan Anggrek Bulan Merah

DI pelataran rumah, di bawah pohon srikaya, sambil menyirami bunga-bunga anggrek yang bermekaran, Dewanti teringat dua sahabatnya, pendaki gunung yang hilang tak kembali, tak diketahui di mana mereka lenyap dalam pendakian. Dua sahabat lelaki di kampus yang sudah sangat berpengalaman mendaki itu berpisah dengannya di bawah pohon randu alas, hampir mencapai puncak gunung. Dewanti berhenti di bawah pohon randu alas tua itu, ingin mendapatkan bunga anggrek bulan merah yang tumbuh di dahannya. Ia membujuk kedua sahabat lelakinya untuk memanjat pohon randu alas yang begitu besar, dan mereka tak mampu melakukannya.

Purnama Meninggalkan Kota

GADIS berambut hitam sebahu itu melesat melewati deretan toko-toko, para pejalan kaki, dan dengan amat sembrono menerobos jalan raya yang padat kendaraan. Beberapa pengendara terkejut karena ulahnya mengumpat, tapi ia tak peduli. Terus saja berlari pontang-panting. Mengabaikan sesak yang mendesak-desak rongga dadanya dan kram yang mencengkeram kedua paha hingga betisnya. Sekali ia menoleh ke belakang, dilihatnya lelaki-lelaki bertubuh kekar itu masih terus mengejar. Terpaut belasan meter saja darinya.

Pak Din dan Siaran Kolak Muncul

SETIAP bulan Ramadan tiba, aku akan selalu ingat masa kecil saat aku menjalani puasa di kampungku, sebuah kampung yang terletak di pedalaman yang jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk kendaraan serta mesin pabrik. Aku dan keluarga serasa menjalani puasa yang benar-benar penuh khidmat dan penuh makna. Berbeda dengan yang kujalani saat ini, saat aku telah memiliki kehidupan sendiri sebagai warga perantauan di kota besar.

Terka

Semak sial. Rumput liar. Buruk rupa. Begitulah aku biasa dipanggil. Secara alamiah, aku tumbuh rendah di tanah. Dedaunanku menyusup liar di sela-sela tanaman hias sejenis rumput milik Nyonya Alamanda yang ditanam jarang-jarang.

Kuli Bawah Tanah

MATA Bungaran yang lancip selalu menatap dinding kamar kuning mengelupas. Dinding bagian barat, terdapat foto ibunya dengan pigura cokelat kehitaman. Satu foto putih abu-abu yang tersisa setelah hari—yang dianggap Bungaran—pemberangkatan. Setiap hari Minggu, tangan Bungaran menjangkau pigura itu dan mengelapnya dengan sobekan kain. Sekadar untuk menerbangkan debu-debu yang bersarang di sana.