Puisi YS
Aku selalu berkata pada pembatas buku di halaman terakhir, dan jendela kamarku yang bermandikan pagi,
Aku selalu berkata pada pembatas buku di halaman terakhir, dan jendela kamarku yang bermandikan pagi,
Kausiapkan cangkir-cangkir keramik, menuang laut/
mencipta samudra warna yang hangat, menceritakan
perjalanan hiu, daun teh, & melati, lalu menghadirkan
telenovela di meja – kau memberitahuku jam tayang
& waktu yang banyak, menyingkirkan telepon genggam
ADALAH DUNIA, setiap tujuan ditandai setiap tujuan menuju tanah impian, gerbang satu lubang, menganga cahaya menyilaukan. kaki-kaki bergegas menyeret kepenatan melawan kepasrahan menembus cahaya membutakan.
Kota ini kerap berandai-andai, menghapus
kerak lunyai dari paras tembok
gang-gang pelosok.
Zaman Purba di Gua Lowo batu dan tulang menjadi petunjukbahwa perjalanan laku nalar telah dimulaidari gua-gua dan pencarian rangka purbabukti laju peradaban sedang bekerja kau sebagai penerus tidak tinggal diammenggali pengertian dan membaca zamanyang ada di setiap celah sejarah untukmenuntaskan tugas setiap martabat penemuanmu dilambangkan cermin bagicucu-cucu terbaru yang kelak akan mendapatpelajaran tentang bagaimana memperlakukanhati dan pikiran demi kelangsungan semesta […]
Pada bulan kesembilan itu, aku kembali
masuk dan merasakan sunyi rahim ibu.
Serupa menonton tayangan ulang,
peristiwa 9 bulan bersama doa bapak-ibu
dulu kini terlihat lagi di gelap mata sunyi.
Tak ada yang tahu, bahwa kegelapan masih ada
dan cahaya tetap menjadi milik rahasia
Aku duduk termangu
di bangku taman
bangku yang terbuat dari ban
Ban yang dulu membawa kendaraan
dan orang-orang
Berjalan-jalan—tanpa tujuan
Kini diam
Menghadap lengang jalan.
Sunyi Di Kota Gulang _Osip Mandelistam Setelah sunyi di hari pertama mengapungDi Sebria tampak waktuMenunggu kelahiran baru. Mungkin ombak terjebak dalam kekecewaanDengan keberhasilan kerangHinggap di karang. Sedepa kemudian, sebelum kau mabukDi suatu kepalsuan bernada ringkih, seperti merahAnggur menampih ilusi seamis darah. Padahal semalamMimpi buruk turun ke teras rumahMenemui tamu, melayaninya seramah rindu. Selalu dendam yang kau puja,Meski di langitBintang cuma […]
Maka dengarkan kisah sabana.
Sebab malam-malam kuhabiskan berdansa dengannya.
Melewati angin, pohon-pohon akasia, batu-batu mulia,
serta desir-kepak sayap malaikat.
tapi di matanya
tak ada airmata negara,
sebab negara menjelma
sosok yang maskulin