SLILIT

Slilit. Barang sauprit sing senengane nylempit. Manggon ing sel-selane untu. Angger manjing ing untu mburi lan nancep gusi asring mbilaheni. Gusi abuh kena infeksi. Rasane clekat-clekit. Mahanani lara untu, banjur krasa cekot cekot. Slilit pancel nganyelake. Didudut angel. Dilalekna gawe perkara sing rumit. Mula slilit kudu dibuwang. Ing warung sate mesthi ana sogok untu. Wujude memper biting. Pucuke digawe lancip. Bubar mangan terus nyogroki slilit nganti tuntas ilang. Slilit ilang rasane plong, kaya lunas utange.

Sisa Bangga

Sadikun tak hanya lega, tapi juga haru. Ia telah menyelesaikan tugasnya sebagai guru. Tiga puluh lima tahun bukan waktu yang singkat untuk membagi ilmu. Baginya, yang diidamkan tidak sekadar rampung menjalankan tugas. Ia akan merasa puas jika selama mengemban amanah sebagai pegawai negeri sipil tak pernah tersandung kasus, termasuk korupsi. Apalagi sampai masuk bui.

Tidak Bisa Menangis

Dasta menghentikan langkahnya, namun tidak lantas melihat ke arah Haki, “Mungkin kau pernah melakukan sesuatu hingga membuat orang lain menangis hebat. Sesuatu itu mungkin bisa dibilang sebuah kesalahan yang tak termaafkan, dan selama ini kau sengaja tak menyelesaikannya, bahkan mungkin sengaja menyembunyikan, dan hal itu berakibat jiwamu tak pernah bisa rehat. Dan satu-satunya agar jiwamu terselamatkan dan tenang, kau harus berani menyelesaikan masalahmu itu.” Usai mengatakan itu, Dasta berlalu.

Nurdin Sambo

NAMA saya Nurdin Sambo. Siapa pula yang tidak mengenal saya. Semua orang tahu bahwa saya ini tak lain dan tak bukan adalah patriot, pejuang dan pembela negeri dan tanah air ini. Buku-buku sejarah perlu mencatat itu. Mengapa tidak? Dulu, di zaman Pak Harto, ketika upacara akan dimulai pada Pk. 09.00, sejak Pk. 08.00 saya sudah berada di lapangan.