Malaikat Izrail
Empat hari yang lalu, Sukri bertemu malaikat Izrail sepulang dari menggarap sawah Pak Karmin. Ia mengabarkan kepada Sukri bahwa empat hari lagi ia akan menemui istrinya. Mencabut nyawa istrinya.
Empat hari yang lalu, Sukri bertemu malaikat Izrail sepulang dari menggarap sawah Pak Karmin. Ia mengabarkan kepada Sukri bahwa empat hari lagi ia akan menemui istrinya. Mencabut nyawa istrinya.
Kota yang dibangun dari serangkaian peristiwa. Tanah kering dan beton-beton berbau pesing. Awan putih dipulun asap dan kabut, wajah gunung kerap lenyap sewaktu siang. Bagai mimpi buruk yang meloncat keluar dari tempat tidur kita, Dinda.
MEMBACA puisi-puisi Nissa Rengganis membuat saya khawatir. Dalam lima puluh puisi Suara dari Pengungsian (2021), terserak kegelisahan yang meriah: tegang, berisiko, bahkan sayup. Suasana-suasana tersebut menjadi lembing tajam yang menohok sekaligus meletupkan luka dari kesunyian yang meranggas di tenda-tenda pengungsian. Dan, Nissa melalui gerak avonturirnya telah mengantarkan tegangan frekuensi kuat dari peristiwa pengungsian pada antena kepala pembaca.
Narasi sejarah adalah kumpulan fragmen-fragmen peristiwa yang dipotret dari berbagai sudut pandang. Karena itu, peristiwa sejarah selalu tak sederhana dan bersifat kompleks. Sejarah selalu berupa jalin kelindan peristiwa yang rumit. Mencatat sebuah peristiwa berarti juga mengabaikan peristiwa lain. Maka, narasi sejarah selalu tentang siapa dan apa yang tercatat. Narasi sejarah seringkali hanya mencatat peristiwa-peristiwa ‘besar’. Namun, di sisi lain, selalu ada penggalan-penggalan ‘kecil’ yang tak tercatat dalam narasi besar sejarah. Ada banyak peristiwa yang terlupakan. Ada banyak nama yang terabaikan.
menganga sudah bibirku robek dikoyak nestapa
lolong anjing persis perihal getar rangka tubuh
yang separuh rubuh hilang kaki, mata merabun
–– ketika segenap kekelaman tiba ––
“Bahasa suatu bangsa dapat merepresentasikan budaya bangsa itu sendiri”. Kata Sutan Takdir Alisjahbana. Demikian Sastrawan Pujangga Baru itu mengagungkan etiket berbahasa. Baginya, bahasa menjadi instrumen simbolis representasi diri. Cermin pengetahuan sekaligus merefleksikan pola sikap. Etiket berbahasa pada titik ini mesti disikapi dengan penuh kesadaran yang begitu sublim.
Tanganku gemetar menggenggam gunting sunat. Darah menggenang di lantai marmer. Bukan merah. Tapi hijau seperti cairan klorofil. Sebelum defibrilator menyalak bagai ledakan meriam, kulihat sesosok bayangan melompat ke dalam lubang di tembok. Ia meleletkan lidahnya dan mengacungkan jari tengahnya. Ingin rasanya mengumpat, tapi tenagaku telah mampat. Tapi sebelum sampai pada adegan itu, beginilah segalanya bermula. Akhirnya setelah berkeliling dari kafe […]
“Apa yang paling kaurindukan dari kota ini?” Di tengah rombongan, di sela-sela tubuh penuh peluh, seseorang melontarkan tanya, entah kepada siapa. Dan, memang, setelah beberapa menit berlalu, tak ada seorang pun tergerak untuk memberikan jawaban.
Pada punggungnya yang belang-belang,
ada haudah yang terbuat dari keringat
dan akar-akar tubuh yang menjalar dengan
kuat untuk membawa seorang perempuan
renta mengunjungi rumah tuhan.
Ora bisa turu. Ora ngantuk blas, kamangka wis tengah wengi. Embuh apa sing marai aku ora ngantuk. Biyasane jam wolu punjul sethithik wis ngantuk, nanging wengi iki….