Puisi-puisi Lailatul Kiptiyah
barangkali pandanganku kepada Sumba
adalah cinta yang tak kenal
lelah dan sedih
oleh jarak dan titi mangsa
barangkali pandanganku kepada Sumba
adalah cinta yang tak kenal
lelah dan sedih
oleh jarak dan titi mangsa
“…Puisi memang tetap terasing. Tapi keterasingannya bukan karena ia berkhianat. Keterasingannya justru sebuah kesaksian, bagaimana di jaman ini, ketika kata bertebaran dan berduyun-duyun bersama kapital, orang mudah tak mengakui bahwa ada fragmen-fragmen, ada peristiwa-peristiwa yang seakan-akan terdiam.” Kutipan tersebut merupakan pamungkas esai Goenawan Mohamad (selanjutnya: GM) bertajuk “Fragmen: Peristiwa” (GM, 2011:20).
Selain bahasa daerah, bahasa Indonesia termasuk bahasa yang semestinya terus dilestarikan khususnya oleh para generasi muda bangsa. Jangan sampai kita sebagai orang Indonesia malah merasa “lebih bangga” menggunakan bahasa asing padahal posisi kita sedang berada di tanah kelahiran sendiri. Menguasai banyak bahasa memang penting, terlebih bagi mereka yang sering bepergian ke luar negeri. Namun keasyikan mempelajari bahasa asing jangan sampai membuat kita lupa dan abai untuk mempelajari bahasa ibu kita sendiri. Jangan sampai bahasa Indonesia punah dan tergantikan oleh bahasa lain.
“RASAIN lu!” umpat Romlah begitu mendengar Angelina salah ucap. Salah ucap itu terjadi dalam ajang kompetisi untuk para perempuan cantik dengan jargon 3B: Brain, Beauty, Behaviour. Ketika itu salah satu dewan juri meminta Angelina menyebutkan sila-sila dalam Pancasila untuk mengetes wawasan kebangsaannya. Tanpa masalah ia berhasil menyebutkan sila pertama sampai ketiga. Namun, begitu ia menyebut sila keempat yang agak panjang, mendadak lidahnya kelu, ruangan sekitar dirasainya berputar, kemudian lidahnya terpleset ketika menyebut sila keempat, dan ia pun tercebur dalam jurang malu.
Saniskara budi ngalaming kalbu
Bumedhah ing ratri sepi asamun
Kalamun ingsun tumuju Gusti
Tinitah seba jatining dhiri
BARDAN arep duwe gawe. Ngrabekake anake wadon mbarep. Murih katon regeng, dheweke arep nanggap wayang kulit sawengi natas lan kudu ana perange buta cakil. Pepenginane sing kaya ngono kuwi mesthi wae ana alesane. Ora mung waton bisa nanggap lan mbayar, nanging kegawa rasa seje sing tansah silih-ungkih njejaki dhadhane lan ora bisa diendhani. Kudu dituruti.
Apa yang hendak disampaikan Satmoko Budi Santoso lewat bukunya yang berjudul Ritual Karnaval Sastra Indonesia Mutakhir ini? Satu hal pasti, Satmoko tidak berpretensi menulis “sejarah sastra” di tanah air. Buku ini lebih sebagai pembacaan atas karya sastra Indonesia dalam kurun waktu tertentu.
Peta didedah berulang kali. Nama-nama
Kota dirapal sekian kali. Kemudian kita
Bergegas membawa sekoper perhitungan,
Setelah ratusan ribu jam impian disemai.
KAMI menyusuri sebuah lorong beraspal. Beberapa lampu jalan yang tegak di setiap dua puluh meter menyala pucat. Saman berhenti dekat sebuah poster seorang lelaki bertubuh pendek, di bawahnya dengan tegas tertulis Sang Pemenang. Saman menunjuk ke poster itu lalu berkata, “Dia dan aku pernah berlatih di Libya. Aku seniornya. Tapi, sekarang dia menjadi sang pemenangnya. Pukima!”
DINA tertegun di depan gerbang sebuah rumah. Rumah bagai istana. Rumah yang luasnya ratusan kali rumah kontrakannya. Apalagi megahnya. Rumah berpagar besi setinggi dua meter lebih, taman tertata indah, bertingkat entah berapa lantai dan berbalkon. Seperti rumah mewah di sinetron nasional.